Pagi hari itu aku sarapan di Soto Pak Gareng. Dekat rumah, timur Stasiun Tugu. Nggak sampai 5 menit, soto datang. Karena sudah laper, langsung dilahap.
Suasana ramai, mungkin karena Sabtu. Ada seorang anak kecil, ngamen. Aku sering lihat dia, juga ngamen di angkringan Lik Man. Entah kenapa jadi nggak selera makan.
Malam sebelumnya, aku nonton Kick Andy. Judulnya, Masa Kecil yang Hilang. Ada banyak anak-anak, semuanya kerja. Mereka nggak sekolah, nggak sempat main. Ada yang jadi tukang sepatu, buruh tani, pembantu, hingga penjaja seks. Ada juga yang hidup berbulan-bulan di laut lepas.
Terpikir, salahkah mereka? Karena mencari uang? Yang jelas bukan untuk foya-foya. Membantu orang tua. Paling tidak sekadar menyambung hidup. Bertahan hidup.
Anak bukan pejuang di garis depan. Begitu kata pakar anak. Anak nggak boleh mencari uang. Apa anak memang wegah nyari uang? Apa mereka disuruh. Yang jelas uang bagi mereka untuk bertahan hidup.
Kalau anak nggak mencari uang, apa ekonomi keluarga bisa aman?
Kalau anak harus sekolah, apa benar-benar nggak bayar?
Kalau anak harus main, apa mereka bakal nggak malas cari uang?
Ngomong gampang. Berbuat susah. Daripada ngomong, mending berbuat dulu. Bikin kondisi yang memungkinkan orangtua punya pendapatan yang layak. Jadi anak nggak mesti turun tangan. Anak tentram, orang tua nyaman.
Kuah soto tinggal separo, anak itu udah ngeluyur pergi. Sempat kupotret, dia pingin lihat, kukasih lihat, dia ketawa. Dia masih bisa ketawa, di tengah hidupnya yang keras. Beruntungkah aku? Masa kecilku tidak sepertinya? Ah, setiap orang memiliki sisi-sisi hidup yang keras berbeda-beda. Masa kecil mereka, seperti itu.
Begitu juga denganku.
So, mari kita banyak2 bersyukur,