Sejak pandemi Covid-19 aku sudah jarang banget ngepit-ngepit. Selain malas #doh, belakangan ini aku lebih memprioritaskan uang dibandingkan keluyuran nggak jelas, hahaha. #senyum.lebar
Meski begitu, di sela-sela kemalasan dan kesibukan, pada Sabtu (7/5/2022) yang lalu, akhirnya kesampaian juga ngepit lagi. Lumayan lah, satu langkah kecil supaya celana ukuran 34 muat lagi. #hehehe
Seperti biasa, bersepeda kali ini masih bareng sama Mbah Gundul kesayangan kita semua. Perkara rutenya aku pasrah saja sama pilihan si Mbah karena kita semua tahu ya... pasti nggak jauh-jauh dari yang “itu” atau “itu”.
Oke. Jadi, si Mbah ngajak menyusuri Jalan Gedongkuning ke selatan, menyeberangi ringroad Kotagede, dan kemudian lewat jalan panjang membelah sawah alias bulak andalannya si Mbah yang (sepertinya) masuk wilayah Desa Jambidan di Kecamatan Banguntapan, Bantul.
Dulu itu, awal-awal bersepeda lewat bulak ini wujudnya masih jalan tanah. Kalau sekarang sudah diaspal mulus. Jadi ingat lagi toh pas masih muda dulu pernah bersepeda malam-malam Jumat Kliwon ke Gunung Kelir. #senyum.lebar
Alhamdulillahnya pemandangan di kanan-kiri bulak masih didominasi sawah-sawah luas nan asri dengan tetap mempertahankan keeksisan gubuk-gubuk pembuatan batu bata di sana-sini. Pemandangan khas yang dari awal bersepeda lewat sini dulu nggak berubah banyak.
Eeeh, pas mau motret keasrian pemandangan sawah, jebul ternyata memory card DSLR-nya ketinggalan di rumah!
Doh! Ciloko!
Maklum, sudah lama nggak bersepeda sambil nggendong DSLR. #hehehe
Dulu baterainya lupa kepasang. Eeh, sekarang memory card-nya yang lupa dimasukin.
Yaaah nggak apa-apalah. Fotografer berpengalaman nggak memandang senjata apa. #senyum.lebar
Alhasil, semua foto yang tampil di artikel ini dipotret menggunakan kamera smartphone. Toh, ini kan sekadar dokumentasi sebagai pengingat cerita ngepit yang semoga bisa berguna saat tua nanti. #senyum.lebar
Oke. Lanjut bersepeda kami ke selatan, hingga akhirnya melintasi lapangan dengan objek menarik di kejauhan.
Wajan raksasa!
Hooooo! Jadi ini toh wajan raksasa yang pernah hits beberapa bulan yang lalu. Rupanya sudah banyak karat-karatnya, sampai pada ngelotok.
Kalau dulu wajan ini sempat hits, kalau sekarang ya sepi total. Warung-warung jajanan di sekitar sana sepi tak berpenghuni. Padahal ini Sabtu pagi, yang mana banyak orang prei, yang kemudian biasanya pada pit-pitan.
Selain kami, yang mampir mendekati wajan raksasa itu ada seorang mbak pesepeda. Dirinya hanya memotrat-motret sebentar, setelah itu ciao lagi. Sama seperti kami. #hehehe
Lha piye? Mungkin orang-orang sudah nggak pada penasaran lagi dengan wajan raksasa yang jebul ternyata gur ngono toh. Sepertinya juga banyak tempat jajan yang vibes-nya lebih representatif dibandingkan di sini.
Hayooo, lha mending wajannya disimpan saja di tempat tertutup supaya nggak terus-terusan kena hujan. Karatnya tambah banyak nanti. Bisa-bisa bolong. #hehehe
Dari situs wajan raksasa. lanjut lagi kami me-ngidul. Kali ini si Mbah mengajak lewat bulak yang lagi hits, yang dikenal dengan nama tren Bulak Wikel.
Haduh, haduh… bulak, bulak…
Zaman now kok banyak bulak yang disulap jadi tempat nongkrong. Padahal dulu ini cuma jalan panjang nan membosankan karena kalau bersepeda lewat sini, aku selalu sambat (di dalam hati) kok belum sampai-sampai Pasar Pleret juga! #hehehe
Tapi, karena Bulak Wikel bukan tujuan utama kami, alhasil terlewatilah tanpa mandeg. Untung numpang lewat sini nggak dipungut biaya. #hehehe
Yah, walaupun sekarang banyak tempat yang “biasa-biasa saja” disulap menjadi tempat yang kekinian, semoga saja ke depannya tidak dikomersialisasi.
Oke.
Sejauh ini, aku merasa kalau Mbah Gundul sepertinya menyasar tempat-tempat yang sedang naik daun di kalangan pesepeda.
Tapi….
Itu kan bukan yang kita cari dari seorang Mbah Gundul kan!?
Oleh karenanya, terucaplah pertanyaan dari mulutku:
“Iki kapan nanjak e Mbah!?”
Huahahaha, dasar seorang Wijna yang kemaki! Terakhir kali bersepeda itu berbulan-bulan-bulan yang lalu. Sekarang baru bersepeda lagi, eh, sudah nyari-nyari tanjakan.
Mana tanjakannya pasti “kelas”-nya Mbah Gundul.
Mana tungganganku Selita pula.
Benar-benar cari perkara ini, hahaha. #senyum.lebar
“Sabar.”
Itulah jawaban singkat dari si Mbah.
Hari ini dirinya sepertinya sedang ngirit bicara. Mungkin karena dari awal sudah aku beri warning supaya nggak banyak ngoceh perkara konspirasi pandemi Covid-19. #hehehe
Edan po!? Aku bersepeda buat bikin panas badan supaya keringetan, bukan bikin panas kuping. #hehehe
Eeee… tapi, kalau diperhatikan, sejak lewat Bulak Wikel tadi, Mbah Gundul mulai memandu melewati jalan-jalan yang aku benar-benar asing. Benar-benar wilayah Kabupaten Bantul yang (sepertinya) belum pernah aku kunjungi.
“Tempat apa ini!?”
Dalam hati aku jadi bertanya-tanya, ke mana si Mbah bakal membawaku berpetualang. Si Mbah juga nggak ngasih kisi-kisi. Jadi, aku ya manut-manut saja ke mana si Mbah bakal mengajakku. #hehehe
“Siapkan tenagamu!”
Beh!
Perintah singkat dari si Mbah yang selalu bersepeda di depan. Jelas, medan jalan sudah pasti adalah tanjakan!
Weeeh….
Mungkin karena sudah lama nggak bersepeda nanjak.
Apa mungkin karena pakai Selita?
Haduuuh… pahaku pegel buanget!
Ini Selita dipakai nanjak kok berat banget!?
Padahal sudah diakali di gigi crank yang ukuran 28.
Tapi, kok masih berat!?
Apa harus ganti rantai? Ganti freehub?
Kalau dulu pas pakai Trek-Lala nggak pernah rasanya paha pegal parah seperti ini.
Yang ada dulu itu jantungku deg-degan terus.
Duh, payah ini!
Ya sudahlah, terpaksa… nuntun saja!
Buahahahaha! #senyum.lebar
“Iki tanjakan entek e kapan Mbah!?” aku mulai sambat.
“Lha, jare mau nggolek tanjakan!?”
Haduh! Menjilat ludah sendiri. Tapi, untung ya ludah sendiri, bukan ludah orang lain sih. #hehehe
“Nek ora tanjakan, golek sing wingit Mbah!”
“Tanjakan opo wingit jane?”
“Loro-lorone!”
Modyar! Utek e korslet merga tanjakan e ra rampung-rampung! #hehehe
Di depan, jalan menanjak masih membentang panjang. Tenaga yang disiapkan sudah habis. Mana nggak ada acara mandeg pula.
Ampun Mbah….
Ndilalah, kami pun tiba di tempat yang suasananya lumayan creepy. Banyak rumah-rumah tipe 36 berdiri di sana sini. Nggak terawat. Terbengkalai.
Kalau memperhatikan spanduk-spanduk yang tertempel di muka rumah, ini sepertinya ini rumah-rumah Perumnas. Lebih tepatnya, Perumnas Pesona Trimulyo Asri.
Dalam hati aku bertanya-tanya. Opo gek-gek iki tempat wingit sing dimaksud si Mbah?
Sebetulnya, nggak semua rumah di sana terbengkalai sih. Di sana ya ada juga rumah-rumah yang terawat karena ada penghuninya. Hmmm, mungkin rumah-rumah yang nggak terawat itu ada di blok terakhir yang lokasinya kurang favorit.
Tapi kok ya kesannya eman-eman gitu. Sudah dibangun mahal-mahal, eh nggak terawat karena belum laku. Apa karena lokasinya yang agak terpencil di perbukitan ya?
Idealnya, mungkin ya transaksi deal beli rumah dulu, baru setelahnya rumahnya dibangunkan. Tapi, pada prakteknya nggak bisa seperti itu. Kan membangun rumah dengan sistem borongan.
“Iki tempat wingit e Mbah?”
“Du! Isih adoh!”
Hadeh… nasib… nasib….
“Jane mau nang sing cerak, tapi berhubung dirimu njaluk wingit, ra sido.”
Haduuuh… goro-goro request-ku….
“Pokok e gunung tur wingit toh?”
“Siapkan tenagamu!”
Modyar!
Hadeh… nanjak meneh…
Huh… huh… huuuh…
Hingga tibalah kami di perempatan yang ada masjid, gazebo, dan papan bertuliskan “Selamat Datang di Wilayah Kalurahan Wukirsari”.
Weh, sudah pindah kapanewon rupanya. Tadi Pleret, sekarang Imogiri. Eh, tadi sebelumnya lagi Banguntapan.
“Ayo, gek ndang!”
Haduh si Mbah… gur leren sediluk wae iki lho! Tenagaku urung full charge iki.
“Dilit ngkas.”
Whooo ya jadi ada tambahan sedikit tenaga nek ngunu infone. #senyum.lebar
Setelahnya… jalannya masih lanjut nanjak. Tapi, untung nggak securam setelah lewat Perumnas tadi.
“Kae!”
Aku pun menyapukan pandangan. Di pinggir jalan aspal ada papan yang dipaku di batang pohon.
“HAH!? Ki opo Mbah?”
“Jare golek nang gunung tur wingit?”
Pikirku, yang wingit-wingit itu macamnya pohon besar, makam, mata air, situs-situs purbakala dan lain sebagainya.
Lha kok papan…
Tur, ra kalap meneh bahasa-ne. Angker and wingit jare… hadeh….
Ra kalap… ra kalap….
Ndilalahnya, di dekat sana ada seorang bapak paruh baya yang sedang berladang. Mbah Gundul pun beramah-tamah dengan sang bapak guna mengulik informasi lebih lanjut terkait jalan yang diperingatkan angker and wingit itu. #hadeh
Wooo… jebul ternyata papan angker and wingit itu dipasang supaya para pesepeda motor nggak kebut-kebutan lewat jalan ini. Soalnya sudah pernah ada korban.
Bapak itu lanjut cerita kisah hidupnya sewaktu kecil. Lahir dan besar di sini, beliau adalah anak dari keluarga pembuat arang. Satu keluarga empat orang: bapak, ibu, dan dua anak.
Sejak kecil, beliau sudah kerja membantu orangtua. Setiap tiga hari sekali, satu keluarga empat orang ini pergi menyunggi arang ke Kotagede, ke juragan perajin sagon dan yangko yang selalu menerima arang-arang buatan mereka.
Itu pergi-pulangnya dari Wukirsari ke Kotagede jalan kaki lho! Kalau dari Google Maps, jaraknya sekitar 12 km. Kata si Bapak, dari rumah pagi, sampai Kotagede siang, tiba lagi di rumah menjelang magrib. Rute jalan kakinya lewat Sindet, kemudian Pleret.
“Zaman riyen pait,” cerita si Bapak, “awit cilik sampun dilatih nyunggi kayu.”
Zaman kecilnya si Bapak itu yang mungkin sekitar tahun 1950-an. Kendaraan bermotor masih jarang. Sepeda masih jadi barang mahal. Jalan di bukit ini juga jelas belum ada yang diaspal.
Setelah pamit dengan si Bapak, perjalanan berlanjut ke tempat istirahat yang sudah dinanti-nanti karena aku dari tadi sudah ngoceh kepingin minum teh panas. #senyum.lebar
Antara kepingin minum teh panas dan es teh sebetulnya. Tapi, berhubung perjalanan pulang masih jauh dan takut fisik nge-drop kalau minum yang dingin-dingin, jadi amannya teh panas saja.
Puncak Poncol menjadi tempat pilihan si Mbah untuk istirahat. Kami tiba di sana sekitar pukul setengah sembilan pagi kurang dan suasananya sepiii banget. Selain kami hanya ada 2 pesepeda lain. Dari enam warung hanya ada satu yang buka. Itu pun warungnya langsung tutup setelah kami rampung bayar-bayar.
Weleh….
Sepertinya tempat ini dulu pernah hits ketika awal-awal pandemi, ketika orang-orang lagi senang-senangnya bersepeda ke mana-mana. Gimana ya? Tempat-tempat semacam ini terlalu menjamur, tapi kurang menawarkan keunikan yang membuat orang ketagihan ke sini lagi.
Ya sudah deh.
Berhubung sudah nanjak dan ketemu tempat wingit #hadeh, jadi kami pulang. Pulangnya tinggal turun sampai Segoroyoso, Pleret. Lanjut ke Kotagede deh.
Aku kira di perjalanan pulang ini bakal ada adegan sarapan. Eh, ternyata si Mbah malah mandeg nyetok sayur-sayuran di kios sayur Kotagede. Mau masak sendiri katanya. Holadala, lagi ngirit po ya si Mbah?
Ya sudah. Setelah berpisah sama si Mbah di Joglo Pit, aku lanjut ngalor pulang. Sebelumnya, mampir makan mie ayam Nogobondo dulu. Berhubung sudah dekat rumah, nggak apa-apalah minumnya es teh. #senyum.lebar
Mari makan!
kalo bawa kamera mirrorless atau dslr, ga enaknya kalo udh kelamaan disimpen pasti lupa.. sama kayak aku dulu lupa bawa charger dan batrenya hahahaha. nasiiib hrs pinjem foto temen, gara2 aku cuma bawa tablet yg mana lbh butut lagi hasil kameranya p
wajan raksasa itu aku baru tahu... jadi dulu sempet viral yaa? aku jarang sih ke jogja, sekalinya kesana, nginep di hotel, dah mager keluar :D
tapi wajannya dulu memang hanya utk hiasan aja? atau beneran dipake masak? sebelum jd karatan kayak skr?
ini nyari2 tanjakan, pas akhirnya dksh si mbah, langsung semaput hahahaha
duuuuh miris bener liat rumah2 yg terbengkalai gitu.. kepikiran juga kontraktornya rugi banyak pasti :(. tapi agak serem yaa yg beneran tinggal di sana, tapi tetangga kiri kanan kosong terbengkalai..
tempat angkernya serem juga :D.. tapi ada bagusnya diksh tanda begitu, apalagi kalo pernah ada korban..
aku pernah baca banyak tempat di jogja trutama yg daerah atas dibangun warung2 utk pesepeda, sayangnya dah banyak tutup yaa. musiman doang.. tapi ya memang suamiku aja beli sepeda, lah skr jd nganggur itu di rumah.. lama2 aku loakin hahahaha