HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Dari Nglanggeran Turun ke Gedangsari

Kamis, 20 Agustus 2020, 19:11 WIB

Malam itu, di tengah buaian film vampir Hongkong pengantar tidur, Mbah Gundul tiba-tiba mengirim pesan. Alhasil, terciptalah obrolan dengan daya melek mata yang tersisa separuh. Apalagi kalau bukan perkara ajakan bersepeda. #hehehe

 

Istri yang merebahkan diri di sebelah ndilalah memperbolehkan. Padahal, rencananya besok pagi bakal sarapan soto Sorgapuro. Tapi, kata sang istri ya bersepeda saja. Toh warung sotonya nggak pindah ke mana-mana ini. #hehehe

 

Kok ya ndilalah-nya pula pada Sabtu pagi (22/12/2018) mata bisa melek sebelum azan subuh berkumandang. Padahal, biasanya serpihan nyawa baru terkumpul sekitar pukul setengah enam. #hehehe

 

Karena tergolong acara bersepeda yang dadakan, jadilah pagi itu Trek-Lala disiapkan secepat mungkin. Selain menambah angin ban dan memastikan rem pakem, sempat pula sepeda kuning jadul itu dicuci karena lapisan debunya menggunung. #hehehe

 

Akan tetapi, keberangkatan dari rumah baru terlaksana pukul enam lebih banyak dikarenakan gerimis tipis yang mendadak membasahi Kota Jogja. Sebetulnya ya nggak masalah sih berangkat siang. Lha, hanya ke Nglanggeran ini. #hehehe

 

 

Menanjak Patuk

Dengan bersepeda santai, tibalah di Padepokan Joglo Pit sekitar pukul tujuh pagi. Di sana Mbah Gundul sudah lama menanti. Salahnya si Mbah nggak pakai ritual penangkal hujan. #hehehe

 

Ada banyak pilihan rute menanjak menuju Nglanggeran. Tapi, semuanya jelas berupa tanjakan. Ada yang tanjakannya manusiawi. Ada juga yang tidak manusiawi. #hehehe

 

Awalnya, Mbah Gundul menawari ke Nglanggeran lewat tanjakan Petir. Jarak tempuhnya lebih singkat. Tapi, kemiringan tanjakannya sangat jahanam alias tidak manusiawi. #doooh 

 

Berhubung aku sudah lama sekali nggak mengicip tanjakan jahanam, jadilah aku mengiba kepada si Mbah supaya ke Nglanggeran lewat tanjakan Patuk saja. Kemiringan tanjakannya lebih manusiawi walaupun besar kemungkinan di sana bakal ramai kendaraan bermotor. Untungnya si Mbah setuju. #yes

 

Jadi, berangkatlah kami ke Nglanggeran melalui tanjakan Patuk yang sebelumnya harus melewati Jl. Raya Jogja – Wonosari dulu. Di tengah perjalanan, Mbah Gundul memasok bekal camilan bolang-baling dan cahkwe seharga total Rp10.000.

 

 

Sekitar pukul delapan pagi, dimulailah perjuangan bersepeda melintasi tanjakan Patuk. Karena sudah lama sekali nggak bersepeda di tanjakan panjang (padahal panjangnya "hanya" sekitar 3 km #hehehe), jadinya aku agak kepayahan. Lebih pada napas yang tersengal-sengal daripada betis yang pegal.

 

Untungnya, perjuangan menanjak ini terasa agak damai. Tumben-tumbennya Mbah Gundul nggak banyak omong. Biasanya, kalau aku agak lelet di tanjakan, si Mbah bakal ngoceh-ngoceh supaya aku mengayuh lebih cepat. #hehehe

 

 

Seperti yang sudah diprediksi, pagi itu Jl. Raya Jogja – Wonosari lumayan padat kendaraan, termasuk di ruas tanjakan Patuk. Iring-iringan bus pariwisata menjadi pemandangan lumrah. Bisa jadi, ramainya Jl. Raya Jogja – Wonosari ini disebabkan long weekend akhir tahun, libur sekolah Natal dan tahun baru.

 

Sebetulnya ya agak nggak nyaman juga sih bersepeda di jalan raya yang ramai kendaraan seperti ini. Tapi, ya mau bagaimana lagi? Daripada stamina terkuras habis di tanjakan Petir? #hehehe

 

 

Syukur Alhamdulillah, tanjakan Patuk akhirnya terlintasi dengan selamat. Sepanjang menanjak sempat berhenti dua kali, yaitu di jembatan Tambalan baru dan di kawasan Bukit Bintang. Lumayanlah tanjakan Patuk ini sebagai pemanasan bersepeda nanjak sekian kilometer ke depan. #eh

 

Tiba di puncak tanjakan Patuk sekitar pukul setengah sembilan pagi. Di kawasan puncak tanjakan Patuk ini ada rest area. Pangling karena sekarang wujud rest area-nya sudah bagus pakai banget. Bangunannya sudah tertata apik. Dilengkapi toilet bersih yang cocok sebagai tempat mencari inspirasi pula. #senyum.lebar

 

Otak pun mengorek-orek ingatan bertahun-tahun silam. Beberapa kali sempat istirahat di rest area ini sewaktu dulu masih sering bersepeda lewat tanjakan Patuk. Dulu ya kondisinya belum sebagus ini.

 

Warung makan murah meriah yang terkenal di rest area ini sudah pindah sekitar 100 meter ke utara (arah ke Nglanggeran). Di rest area yang baru ini juga ada warung-warung sih. Tapi, pagi itu masih pada tutup. 

 

 

Di rest area ini kami sempat beristirahat agak lama karena tempatnya memungkinkan untuk menyantap cahkwe pakai saus sambal #hehehe. Sebetulnya, lebih sip lagi menyantap cahkwe ditemani segelas teh manis hangat. #ingin.teh.panas #hehehe

 

Sembari aku menyikat cahkwe gratisan, Mbah Gundul menghampiri sumur timba yang berada dekat area parkir kendaraan. Seperti biasa, Mbah Gundul menimba air dari sumur, lalu membasuh wajahnya dengan air itu. Kata si Mbah, air sumur terasa lebih segar daripada air yang mengalir dari wastafel toilet rest area. Mosok sih? 

 

 

Berhubung tenaga sudah pulih, maka lanjut lagi menuntaskan jarak 8 km yang tersisa menuju Nglanggeran. Suasana jalan pun berganti. Semula ramai kendaraan bermotor, kini ramai dengan ayam-ayam yang berkejar-kejaran. Suasana khas pedesaan Yogyakarta sekali.

 

Di tengah suasana yang damai nan sepi ini, tanjakan di Dusun Jati Kuning dan Dusun Soka masih tetap menghadang terjal. Dibanding tanjakan Patuk, dua tanjakan ini sebetulnya nggak ada apa-apanya. Tapi, entah kenapa perasaan ingin segera tiba di Nglanggeran membuat tanjakan ini terasa lebih panjang.

 

Alhamdulillah, sekitar pukul setengah sepuluh siang tiba juga di perempatan Nglanggeran alias perempatan Puskesmas 2 Patuk. Karena dari tadi aku sambat ingin minum teh panas, Mbah Gundul pun mengajak ngeteh di warung Padang dekat perempatan.

 

Eh, setelah dihampiri, rupanya warungnya ramai! Alamat bakal lama dilayani ini. Padahal hanya mau ngeteh thok

 

Akhirnya, Mbah Gundul mengajak pindah ngeteh di angkringan sebelahnya warung Padang. Tanpa menunggu lama, segelas teh manis panas pun terhidang di meja.

 

Uuuh, sedap nian menyesap teh manis panas ditemani peyek kacang dan cahkwe! Semuanya jelas gratis karena dibayari si Mbah. #nuwun.ya.mbah #senyum.lebar

 

Ke Arah Klaten

Pemanasan selesai. Istirahat ngeteh juga selesai. Saatnya merampungkan sisa perjalanan yang tersisa.

 

Di perempatan Puskesmas 2 Patuk ini kan jalan bercabang empat:

 

  1. Cabang jalan (barat) yang tadi kami lewati tembus ke Jl. Raya Yogyakarta – Wonosari.
  2. Cabang jalan ke utara tembusnya ke jalan baru Lemah Abang.
  3. Cabang jalan ke selatan tembusnya ke Gunung Api Purba Nglanggeran.
  4. Cabang jalan ke timur tembusnya ke Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

 

Nah, cabang jalan ke timur inilah yang belum pernah aku jamah dengan sepeda. Inilah rute utama bersepeda kami pada Sabtu ini.

 

Dibandingkan dengan tiga cabang jalan yang lain, cabang jalan ke Klaten ini lebih terkesan antah-berantah #lebay. Apalagi jika mengamati kontur jalan yang sudah menanjak terjal sejak di ujung perempatan. Wajar toh bilamana Trek-Lala dituntun sejak awal. #hehehe  

 

 

Di tengah adegan menuntun Trek-Lala di "tanjakan pembuka", Mbah Gundul memberi tahu bahwa nanti bakal melewati kawasan yang banyak batu besar. Betul juga, selang 100 meter melewati "tanjakan pembuka", di pinggir jalan terhampar pemandangan sawah dan hutan yang berdampingan dengan batu-batu besar.

 

Sepertinya, pada zaman dahulu ketika Gunung Api Purba Nglanggeran meletus, batu-batunya terlempar hingga ke sini. Tapi, mbuh lah, lha wong aku bukan ahli geologi. #hehehe

 

 

Dari kawasan batu-batu besar, datang menyambut satu jembatan yang disusul dengan tanjakan panjang #doh. Uniknya, di pinggir jalan menanjak berdiri sejumlah gazebo.

 

Cocoklah gazebo-gazebo ini sebagai tempat menikmati pemandangan indah persawahan yang berundak-undak. Cocok juga sih sebagai tempat istirahat menanjak. 

 

Tanjakan panjang ini cocok dinamai tanjakan Semilir. Sebabnya, di puncak tanjakan berdiri balai Dusun Semilir.

 

Penamaan Dusun Semilir ini pun terasa pas sekali. Hembusan angin di puncak tanjakan terasa semilir. Serasa ingin balik kanan langsung pulang ke rumah jadinya. #senyum.lebar

 

 

Dari Dusun Semilir perjalanan berlanjut menuju Dusun Pudak. Kedua dusun ini sama-sama berada di wilayah Desa Terbah, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Ini wilayah Kecamatan Patuk yang baru pertama kali aku sambangi.

 

Jalan aspal menurun yang berkelok nan terjal menghiasi jalan dari Dusun Pudak menuju Dusun Belang. Di dekat SD Negeri Belang terdapat pertigaan yang mengarah ke Prambanan. Mbah Gundul tetap mengarahkan untuk bersepeda melewati jalan yang menurun terjal. Perasaanku mulai nggak enak. #hehehe

 

 

Setelah sekian lama dimanja dengan kontur jalan yang menurun, akhirnya ketemu tanjakan juga deh. Tepatnya di ruas jalan yang menghubungkan Dusun Belang dan Dusun Karang. Aksi menuntun Trek-Lala pun tak terelakkan selepas melewati Kantor Desa Terbah.

 

Karena sekarang sudah pukul setengah sebelas siang, jadinya sinar matahari semakin terik. Belum lagi ditambah orkestra nyaring para kinjeng tangis (Cicadidae). Agak aneh ini, baru Desember kok kinjeng tangisnya sudah berorkestra ya? Apa pun itu, dua kombinasi ini membuat aku semakin malas bersepeda di tanjakan. #hehehe

 

 

Untungnya, panjang tanjakan ini "hanya" sekitar 2 km. Puncak tanjakan rupanya masih termasuk wilayah Dusun Karang. Di sini jalan bercabang dua, yaitu ke Patuk dan ke Klaten. Mulailah ada tanda-tanda di mana letak Jawa Tengah. #menghela.napas

 

Tak disangka-sangka Mbah Gundul memberi kabar baik. Kata si Mbah, setelah dari puncak ini nggak ada tanjakan lagi. Jalan full turunan hingga ke wilayah Klaten!

 

Alhamdulillah! #senyum.lebar

 

 

Ada Curug Katanya

Setelah beristirahat menghabiskan sisa cahkwe di suatu bangunan warung bambu suwung, perjalanan menuruni turunan terjal ke arah Klaten pun dimulai. Untung sebelum berangkat tadi aku sudah memastikan rem Trek-Lala pakem. Kalau nggak, bisa-bisa aku harus menuntun Trek-Lala di turunan ini.

 

 

Di tengah asyiknya bersepeda di jalan yang berliku dan menurun terjal, kami melihat ada banyak sumur timba di tengah sawah. Mbah Gundul pun mengajak untuk menghampiri objek menarik tersebut. Bukankah ada pepatah, 

 

“Jika ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi?”

 

Walaupun aku sangsi, apa zaman sekarang masih ada orang yang nggak malu mandi di sumur di tengah ladang yang rawan ditonton oleh orang-orang yang melintas? #hehehe

 

Yang jelas, air sumur di tengah sawah ini jernih sekali! Sungguh nikmat rasanya membasuh kulit dengan air sumur nan segar di tengah perjalanan bersepeda. Tapi, airnya jangan diminum mentah lho! #senyum

 

 

Perjalanan pun berlanjut seusai ritual kekeceh di sumur rampung. Sekitar lima menit kemudian kami tiba di Dusun Sidomulyo. Rupanya, dusun ini sudah masuk wilayah Desa Sampang di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Sudah bukan wilayah Kecamatan Patuk lagi.

 

Di Dusun Sidomulyo, kami membeli air minum di suatu warung kelontong. Mbah Gundul sempat pula mengorek informasi dari ibu warung. Katanya, di dekat dusun ini ada dua curug alias air terjun. #wow

 

Tapi, kata ibu warung, curugnya itu bertempat di area bawah yang untuk ke sananya harus melintasi jalan menurun terjal yang di pinggirnya tumbuh pohon besar. Sepertinya, lumayan wingit juga ini pohon. #eh

 

 

Bicara tentang yang wingit-wingit, setelah melintasi turunan terjal di atas itu, ndilalah Mbah Gundul mengajak berhenti di suatu pemakaman.

 

Weh! Ada apa ini? Mau mencari anggrek kuburan lagi kah? #hehehe

 

 

Hooo, rupanya Mbah Gundul mengajak mengamati lereng perbukitan yang membentang di sisi barat pemakaman. Kata si Mbah, dirinya pernah melihat penampakan curug di lereng perbukitan itu. Mungkin itu salah satu curug yang dimaksud oleh ibu warung.

 

Sayangnya, setelah menyapukan pandangan ke sana-sini, blas sama sekali nggak terlihat adanya penampakan air yang mengalir di lereng perbukitan. Apa mungkin curugnya itu hanya muncul setelah hujan yang sangat lebat? Atau, apa mungkin itu curug gaib? #hehehe

 

 

Setelah gagal menemukan curug yang dimaksud, perjalanan pun berlanjut lagi menyusuri jalan yang masih menurun terjal. Sekitar tiga menit kemudian kami tiba di Dusun Mongkrong. Di suatu pertigaan yang bercabang dengan jalan utama, berdiri papan arah ke Curug Banyunibo.

 

Wah, kurang kreatif ini. Di mana-mana curug ya banyunibo (air jatuh). Mosok ada curug yang banyumunggah? #hehehe

 

 

Karena masih mengusung misi dadakan mencari curug yang satu lagi, jadi ya diikutilah cabang jalan ke Curug Banyunibo itu. Kontur jalannya sedikit menanjak dengan pemandangan semak dan pohon.

 

Jalan yang kami lalui rupanya berujung di suatu pemukiman. Melihat ada sekumpulan ibu-ibu yang sedang njangong di teras rumah, Mbah Gundul pun mengorek informasi perihal Curug Banyunibo.

 

Kata ibu-ibu itu, Curug Banyunibo belum ada airnya!

 

WEEEH!

 

 

Karena sudah jauh-jauh dan capek-capek bersepeda sampai sini, jadi ya sangat nanggung sekali bilamana nggak menyambangi Curug Banyunibo. Biarlah kali ini hanya sebagai observasi curug tahap awal. #hehehe 

 

Oleh sekumpulan ibu-ibu itu kami diarahkan ke jalan kecil menanjak yang berada di samping rumah warga. Di sana, sang bapak penghuni rumah turut menunjukkan jalan setapak masuk hutan yang mengarah ke Curug Banyunibo. Bapak itu juga bilang bahwa sekarang curugnya masih kering. #doh.pak

 

Sepeda terpaksa dituntun di dalam hutan karena kondisi tanahnya mblekok alias berlumpur. Karena jalan setapaknya semakin lama semakin sempit, sepeda terpaksa diparkir di salah satu pohon. Perjalanan pun dilanjutkan dengan berjalan kaki.

 

 

Nggak ada tiga menit, tibalah kami di Curug Banyunibo yang ternyata memang KERING!

 

Weh! Aneh ini! Sudah akhir Desember kok curug di Gunungkidul masih kering kerontang? Padahal curug-curug di Kulon Progo sedang deras-derasnya lho.

 

Kami nggak berlama-lama di Curug Banyunibo. Selain karena curugnya kering #sedih, rupanya genangan air di kedung curug menjadi markasnya pasukan nyamuk! Sudah nggak terhitung berapa ekor nyamuk yang menyedot darah kami di sana. Untungnya bukan nyamuk demam berdarah.

 

Oh iya, selain nyamuk, ulat-ulat jati sesekali datang menyapa kami. Benar-benar sambutan yang meriah dari para penghuni hutan yang mungil-mungil. #wew

 

 

Oleh karena rasa penasaran akan eksistensi Curug Banyunibo sudah terpuaskan, kami kembali menyusuri jalan utama yang menuju Klaten. Di tengah perjalanan kami berpapasan dengan ibu penjual es dawet. Aku yang kehausan mampir membeli es dawet. Mbah Gundul yang nggak tertarik dengan es dawet tetap melaju, meninggalkan aku seorang diri di sana. #hadeh

 

Selesai bertransaksi es dawet, aku pun melaju menyusul Mbah Gundul. Di luar pos jaga Luweng Sampang aku melihat sepeda Mbah Gundul terparkir. Begitu dihampiri… eeeeh…. rupanya Mbah Gundul sedang terpukau mendengarkan Mbah Legiman mendongeng. 

 

Aku sendiri sudah pernah mendengar dongengnya kakek penjaga Luweng Sampang itu. Jadi, sudah tahulah bagaimana sinopsis ceritanya. Paling nggak jauh-jauh dari sukma dan "batu akik". #hehehe 

 

Oleh sebab itu, aku duduk saja di bangku panjang. Sambil menunggu Mbah Gundul selesai didongengi, perlahan aku seruput es dawet yang manis dan dingin. Ah, enaknyaaa....

 

Eeeeh… selesai Mbah Legiman mendongeng, gantian Mbah Gundul yang menggelar praktik pijat refleksi. Duh, bakal tambah lama lagi ini aku menunggu. Mana es dawetnya sudah habis pula. #hehehe

 

 

Kira-kira pukul setengah satu siang, Mbah Gundul akhirnya mengajak hengkang dari pos jaga Luweng Sampang tanpa menghampiri curug yang terkenal itu. Sebabnya, kondisi Luweng Sampang sama persis dengan Curug Banyunibo alias KERING KERONTANG! 

 

Kata Mbah Legiman, keringnya Luweng Sampang itu adalah hukuman dari Tuhan karena banyak orang yang maido terhadap beliau #haduh. Kalau menurutku sih, Mbah Legiman memang sebaiknya di rumah saja. Karena yaaa... nggak semua orang "siap" mendengar dongeng beliau yang minimal berdurasi setengah jam itu. #hehehe

 

Lha ya masak saya percaya Mbah kalau njenengan itu memegang sukmanya Presiden Sukarno? #hehehe

 

 

Singkat cerita, perjalanan pun berlanjut dengan menyebrangi wilayah Yogyakarta ke Jawa Tengah. Di Kecamatan Gantiwarno yang sudah masuk wilayah Kabupaten Klaten, kami sempat berhenti sebentar karena aku hendak menunaikan salat Zuhur. Pada siang itu akhirnya kami makan besar berupa mie ayam setelah sekian jam lamanya bersepeda. #laper.banget

 

Aku tiba kembali di rumah dengan selamat sekitar pukul setengah empat sore. Untuk rute pulangnya ya lewat Jl. Raya Yogyakarta – Solo yang amat-sangat ramai padat macet karena long weekend akhir tahun. #haduuuh

 

Pelajaran yang dapat dipetik dari perjalanan ini adalah aku baru tahu bahwa curug-curug di Gunungkidul masih kering saat Desember. Mungkin baru mengucurkan air pas Maret atau April?

NIMBRUNG DI SINI