Rasan-rasan, merasani, dan dirasani merupakan hal yang lumrah dalam berkehidupan di Yogyakarta. Mbuh piye awal mulanya bisa begini. Mungkin ya mungkin, karena sifat ewuh pakewuh sudah mendarah daging dalam diri orang Yogyakarta.
Alhasil, orang Yogyakarta lebih merasa aman dan nyaman membicarakan-”nya” di belakang. Apa yang dimaksud dengan "nya" itu silakan disubstitusi dengan tetangga, saudara, teman, rekan kerja, dan orang lain yang sekiranya cocok dirasani. #hehehe
Akan tetapi, karena status diri ini sebagai Jawa karbitan #hehehe, terkadang urusan rasan-merasani tereksekusi secara frontal. Sesuatu perbuatan yang kurang sopan menurut umumnya orang Yogyakarta.
Hingga saat ini, harus diakui menahan kata-kata seru serupa “bosok!”, “padune!”, “lambene!”, dkk agar tidak meluncur bebas dari tutuk merupakan suatu perjuangan batin yang cukup berat. Paling nggak, jika kata-kata itu tak sengaja terucap, hanya rekan ngiler beda bantal yang bakal mangkel. #hehehe
Maka dari itu – untuk amannya – daripada merasani orang, mending merasani benda mati saja. Yang namanya benda mati kan jelas tidak punya otak untuk merasa dan tutuk untuk membalas. Jadi ya bebas dong buat merasani benda mati sebagaimana percakapan,
"Laav, Vario-nya kayaknya sudah waktunya diservis lho,"
yang kemudian diakhiri dengan keputusan,
"Minggu ini sibuk ya? Yo wis, servisnya bulan depan saja. Masih kuat ini, kan nggak pernah dipakai jauh."
Eeeh... setelah dirasani seperti itu kok ya si Vario mendadak mati mesin di tengah bundaran SAMSAT! Di-starter berkali-kali gagal! #doh
Si Vario pun dipinggirkan. Kebetulan di dekat sana ada bapak-bapak juru bus pariwisata yang sedang nongkrong. Mereka mencoba ngewangi, tapi tetap berakhir buntu. Salah satu dari mereka menduga kompresi si Vario hilang. #doooh
Jadi ya, terpaksalah si Vario harus dituntun pulang ke rumah. Untung malam itu nggak hujan. Untung pula di tengah jalan ada bapak Gojek baik hati yang membantu me-nyetut. Semoga kebaikan njenengan dibalas oleh yang Maha Kuasa ya Pak Gojek.
Keesokan Rabu paginya (8/1/2020) mau nggak mau si Vario harus diperiksakan ke bengkel. Alhamdulillah, si Vario mendadak mau lagi di-starter setelah sekian kali mengengkol-engkol dan memutar-mutar gas. Sepertinya, mangkel-nya si Vario semalam sudah hilang. #hehehe
Sang istri pun diantar ke tempat kerjanya terlebih dahulu sebelum memeriksakan si Vario. Lalu, dengan menembus rintik gerimis romantis, si Vario pun dipacu menuju bengkel langganan di selatan simpang tiga Borobudur Plaza.
Rampung melaporkan ini-itu kepada mbak resepsionis bengkel, jam menunjukkan pukul 8 pagi kurang banyak. Karena bosan bilamana sepagi ini menunggu berjam-jam di bengkel, jadilah muncul ide jalan-jalan nggak jelas. Apalagi di dalam jok si Vario sudah tersedia payung lipat pink nan cute. #hehehe
Jadi, di bawah naungan payung lipat pink, melangkahlah kaki ini menyusuri trotoar di sisi timur Jl. Magelang. Dari pertigaan Borobudur Plaza berbelok ngetan ke Jl. R.W. Monginsidi. Suasana jalan lumayan sepi. Mungkin karena gerimis belum sudi berhenti.
Setelah melewati SD Negeri Bangirejo 1, dari jauh tampak bendera putih berkibar di muka Gang Utama. Rupanya ada lelayu. Untuk itu mari ucapkan, Inna Lillahi wa inna ilaihi rajiun. Sesungguhnya, kita adalah milik-Nya, dan kepada-Nya lah kita kelak akan kembali.
Karena ada lelayu, awalnya ingin menyeberang ke trotoar di sisi selatan jalan. Tapi, begitu tahu ada halte portabel bus TransJogja di dekat Nike Warehouse Center, tercetuslah ide melanjutkan jalan-jalan nggak jelas ini naik bus. Lumayan kan bisa sedikit mengeringkan celana di dalam bus yang ber-AC?
Di atas halte portabel setinggi kurang satu setengah meter itulah penantian bus TransJogja dimulai. Satu, dua, tiga, empat, lima menit berlalu. Masih juga belum ada tanda-tanda kedatangan bus.
Aaah... menunggu datangnya bus TransJogja di bawah rintik gerimis, dinaungi payung pink, plus menjadi tontonan orang-orang. Sungguh penantian yang terasa panjang. #hehehe
Bermenit-menit kemudian, satu bus TransJogja merapat di halte portabel. Tulisan “5A” terpanjang di kaca depan. Blas sama sekali nggak tahu trayek macam apa 5A ini. Yang penting, naik saja ke sebarang bus yang datang. #tanpa.persiapan
Masuk ke bus TransJogja. Di dalam, penumpangnya agak banyak. Tapi, kering semua, nggak ada yang berpayung basah macam diri ini. Agak nggak enak juga membuat lantai bus basah. Jelas, payung pink menjadi tontonan.
Saat mau membayar ongkos bus dengan kartu uang elektronik, mas pramugara bilang bahwa pembayaran sistem elektronik sedang bermasalah. Jadi, untuk saat ini hanya menerima uang tunai #waduh. Untung ada receh Rp2.700 di dompet.
Bus TransJogja 5A pun meluncur ngetan di Jl. R.W. Monginsidi menuju perempatan Jetis. Mencuri dengar obrolan antara simbah yang duduk di bangku depan dengan mas pramugara, bus 5A ini rupanya bakal mampir ke Terminal Jombor. Apa di sana nanti ganti naik bus ke arah Magelang ya? #hehehe
Dari Jl. R.W. Monginsidi, bus TransJogja meluncur ngalor menyusuri Jl. Nyi Tjondrolukito. Di perempatan Ringroad Jl. Monjali, bus berbelok ngulon menuju Ringroad Jl. Magelang. Ngalor-lah bus masuk ke kompleks Terminal Jombor.
Turun di halte Terminal Jombor. Masih tanpa tujuan jelas. Gerimis yang berubah menjadi hujan membuat niat keluyuran surut. Piye iki?
Dengan demikian, mojoklah di sudut ruang tunggu halte. Rencana nggak jelas berikutnya mulai disusun. Antara menunggu hujan reda, melanjutkan membaca utas horor Twitter #eh, atau pindah naik bus TransJogja lain.
Ketika sedang mojok itulah datang bus TransJogja jalur 2. Dari bus itu keluar banyak penumpang. Sebagian besar penumpang transit. Alhasil, ruang tunggu halte jadi agak padat.
Mbuh ngopo kok yo sekumpulan mas-mas dari timur yang baru turun dari bus jalur 2 itu malah ikut mojok di sekelilingku. Aku merasa terkepung! Tingkat kewaspadaan meningkat! Hidung pun siaga satu karena aroma wewangian mereka sungguh alamakjan! #hehehe
Jadi, rencana nggak jelas berikutnya langsung diketok palu. Jika ada bus TransJogja yang merapat di halte Terminal Jombor, langsung naik saja! Apa pun! Mbuh jalur opo!
Untung nggak menunggu lama seperti di halte portabel tadi. Selang sejumput menit, bus TransJogja jalur 5B merapat di halte Terminal Jombor. Mbuh lewat mana bus 5B ini. Seumur-umur hidup di Yogyakarta, baru hari ini punya pengalaman naik bus TransJogja jalur 5.
Maka dari itu, bergegaslah naik ke bus 5B. Lega karena sekumpulan mas-mas itu tidak ikut naik. Tak seberapa lama, bus 5B pun berangkat meninggalkan Terminal Jombor di bawah guyuran hujan yang masih deras.
Baru sebentar duduk mapan di deretan bangku belakang, pertanyaan singkat yang dilontarkan mas pramugara membuat kenyamanan itu menguap.
“Turun di (halte) mana?”
Batinku, "lha mbuh Mas. Ra ngerti aku meh medun ngendi. Lha wong aku wae ra dong 5B iki lewat e ngendi wae." #hehehe
Ya inilah resikonya jalan-jalan nggak jelas. Tanpa kejelasan tujuan, masak ya pertanyaannya mas pramugara itu dibalas dengan jawaban nggak bermutu semacam “nggak tahu mas” atau “terserah”? #hehehe
Eh, sedikit mengilas balik beberapa menit yang lalu. Ketika bus 5B merapat di halte tadi, si mas pramugara menyeru-nyeru kata “UGM”. Jadilah untuk menyelamatkan diri dijawab saja,
“UGM Mas.”
Aaah... selamat.... #hehehe
Rupanya, bus 5B ini melewati jalan yang sama seperti ketika bus 5A tadi meluncur ke Terminal Jombor. Hanya saja, arahnya berbeda.
Alhasil, pada hari ini Jl. Nyi Tjondrolukito dilewati untuk yang kedua kalinya. Bedanya, bus 5B melaju arah ngidul. Bedanya lagi, di simpang tiga Jembatan Teknik, bus 5B berbelok ngetan ke arah gedung Sekolah Pascasarjana UGM.
Karena tadi sudah berucap “UGM Mas”, maka perbuatan harus sesuai dengan omongan. Turunlah di halte portabel dekat pintu utama Sekolah Pascasarjana UGM atau tepatnya di seberang utaranya gedung baru Fakultas Biologi UGM.
Aaah, ini seperti mengenang belasan tahun yang lalu. Ketika selembar KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) masih bisa dikonversi menjadi 40 jam nge-internet gratis di SIC (Student Internet Center). #jatah.tiap.semester #senyum.lebar
Semasa jadi mahasiswa dulu, transportasi kuliah ke kampus FMIPA UGM (utara atau selatan) ya 95%-nya naik bus kota. Jalur 2 atau jalur 4. Kopata, Aspada, atau Kobutri. Sekarang, semua bus itu sudah digantikan TransJogja.
Sedangkan sisa 5%-nya kadang jalan kaki 3 – 4 km demi menghemat ongkos PP Rp4.000 (lebih sering karena pulang kesorean jadi sudah nggak ada bus kota yang lewat). Kadang pula membawa mobil pas ingat mesin mobilnya sudah berminggu-minggu tidak dipanasi #rawan.mogok atau disuruh angkut-angkut pas ada acara kampus. #hehehe
Jadi, dulu itu ketika naik bus kota jalur 2 atau jalur 4 ya turunnya di sini ini. Kemudian masuk ke kampus FMIPA Utara lewat gerbang kecil ini.
Rasa-rasanya dulu pernah juga ke kampus hujan-hujanan. Berangkat dari rumah hujan, menunggu bus hujan, jalan kaki ke kampus hujan, sampai pulang pun juga masih hujan. Agak iri juga dengan kawan-kawan yang ngampus naik sepeda motor. Sepertinya mereka tidak terlalu basah ketika hujan.
Pada masa sekarang, mungkin sudah jarang mahasiswa (jenis kelamin laki-laki lho! #hehehe) yang pergi-pulang ke kampus naik bus kota. Buktinya, lahan parkir sepeda motor di kampus terus-terusan meluas. Mungkin juga karena sekarang jumlah mahasiswa dalam satu angkatan bisa mencapai ratusan orang.
Ya, karena diri ini statusnya sudah alumni dan sedang dalam agenda jalan-jalan nggak jelas #hehehe, jadi lebih baik berjalan kaki menyusuri trotoar Jl. Persatuan yang populer disebut sebagai Jl. Kaliurang Bawah. Dari utara ke selatan. Dari kampus FMIPA Utara ke kampus FMIPA Selatan.
Hujan-hujan deras begini trotoar pasti sepi. Sangat kecil kemungkinannya berpapasan dengan bapak-ibu dosen atau teman-teman yang mengabdi di UGM. #senyum.lebar
Mungkin pula kemungkinan itu mendekati 0%. Ya, bertahun-tahun setelah lulus ini lewat Jl. Persatuan sering banget. Dalam sebulan bisa beberapa puluh kali. Tapi, selama itu nggak pernah sekalipun bertemu dengan mereka. Terutama bapak dan ibu dosen tercinta.
Jikalau bertemu pun mungkin mereka lupa. Ya, kan ya yang diajar itu banyak mahasiswa. Bisa jadi mereka juga bakal pangling dengan wujud si mahasiswa sekarang vs belasan tahun silam. #senyum
Kadang, aku berpikir bahwa kuliah (sarjana) itu akan tetap berlanjut terus jika nggak “dihentikan” oleh syarat yudisium 144 SKS. Dulu, sewaktu wisuda sebetulnya aku masih nggak menerima bahwa aku ini “pantas” lulus.
Aku masih ingin kuliah sebetulnya. Bukan lanjut kuliah master dan doktor, melainkan merampungkan semua mata kuliah pilihan #senyum.lebar. Paling nggak, mata kuliah pilihan yang sesuai peminatan lah. Yah, mungkin juga “dendam” karena kelas mata kuliah pilihan yang diincar baru terselenggara ketika akunya sudah lulus. #hehehe
Jikalau kuliah lagi, inginnya kuliah di prodi-prodi yang berbeda untuk belajar ilmu-ilmu yang berbeda. Lalu nantinya ilmu-ilmu itu dikolaborasikan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Karena toh pada praktiknya, ilmu-ilmu yang ada itu tidak bisa berdiri sendiri.
Aku sebetulnya kurang suka kalau harus melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi karena nanti hanya menguasai satu topik tertentu saja. Sedangkan ilmu-ilmunya (dan penelitiannya) sebetulnya kan bisa dipelajari ketika (ada akses dan) waktu senggang.
Tapi, buat mereka-mereka yang membutuhkan ijazah (entah untuk pekerjaan atau sebagainya), ya mau tidak mau harus melanjutkan kuliah hingga jenjang tertinggi. Sedangkan bagi mereka-mereka yang hanya ingin memperdalam ilmu, kan ya tidak perlu kuliah toh. Umumnya dosen membimbing belajar juga hanya ketika mengerjakan tugas akhir.
Yah, kuliah itu is just not for everybody lah. Sama seperti murid yang pandai dalam mata pelajaran tertentu atau orang-orang yang hanya cocok melakukan pekerjaan tertentu. #senyum
Dari kampus FMIPA utara tibalah di Bank Mandiri UGM. Niatnya tadi mau berteduh di selasar galeri ATM. Tapi, karena sekarang hujan deras sudah berubah menjadi gerimis, jadilah masuk ke galeri ATM untuk mengambil uang. Kapan lagi ketemu mesin ATM yang menyediakan pecahan uang Rp20.000?
Selesai mengambil uang, sang istri mengabari via pesan singkat. Ia dihubungi pihak bengkel. Katanya, si Vario sudah selesai diservis.
Hooo, cepat juga servisnya. Mungkin karena masuk bengkelnya pagi dan nggak ada problem berarti.
Dengan demikian, tuntaslah jalan-jalan nggak jelas ini. Tentu ke bengkelnya dengan tetap melanjutkan jalan kaki dari Bank Mandiri UGM. Masih gerimis. Masih dengan naungan payung lipat pink nan cute. #hehehe
Sungguh senggang dan kurang kerjaan sekali. Yah, nggak setiap orang dan nggak setiap saat kan bisa punya kesempatan seperti ini? #senyum