HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Gaya Bangunan Sekolah Peninggalan Belanda di Kawasan Jetis

Kamis, 14 Mei 2020, 21:53 WIB

Ada bermacam-macam bangunan peninggalan Belanda di sekitar kita. Ada rumah, kantor, rumah sakit, tempat ibadah, dan juga sekolah.

 

Sekolah (dan juga sistem pendidikan formal kita) adalah warisan pemerintah kolonial. Ketika Ratu Wilhelmina naik tahta pada 17 September 1901, beliau memberlakukan politik etis (politik balas budi). Salah satu kebijakan politik ini adalah memperbolehkan kaum pribumi untuk mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah Belanda.

 

Pada mulanya, hanya kaum pribumi dari golongan berada saja yang diperbolehkan untuk bersekolah. Sebab, proses pembelajaran di kelas akan bercampur-baur dengan murid Belanda. Lambat laun, sekolah bagi kaum pribumi jelata pun didirikan yang tujuan utamanya mengajarkan kemampuan dasar membaca, menulis, dan menghitung.

 

Jauh sebelum Belanda mengenalkan sekolah formal, bangsa kita sebetulnya sudah memiliki sekolah-sekolah tradisional. Sekolah-sekolah tradisional ini biasanya berhubungan dengan bidang keagamaan. Di dalam area kerajaan juga terdapat sekolah yang diperuntukkan bagi bangsawan.

 


Suasana belajar kelas satu di HIS Jetis pada tahun 1943.
Sumber: NMVW-collectie

 

Di Kota Jogja banyak terdapat sekolah peninggalan Belanda. Beberapa di antaranya berada di sekitar perempatan Jetis, Kelurahan Cokrodiningratan yang hanya berjarak sekitar 550 meter di utara Tugu Pal Putih (menurut Google Maps #hehehe).

 

Pada peta Kota Jogja yang terbit pada tahun 1945, terdapat lima sekolah yang berdiri di sekitar perempatan Jetis. Kelima sekolah itu sebagai berikut.

 

1. Voorbereidende Afdeeling voor de Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzen
(Departemen Persiapan bagi Sekolah Kejuruan Pengajar Pribumi)

Adalah sekolah persiapan yang ditujukan bagi kaum pribumi yang hendak masuk Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzen. Saat ini bangunannya dipakai sebagai markas Kodim 0734 Yogyakarta.   
 

2. Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzen
(Sekolah Kejuruan bagi Pengajar Pribumi)

Adalah sekolah yang ditujukan bagi kaum pribumi yang hendak menjadi guru. Saat ini bangunannya dipakai sebagai SMA Negeri 11 Yogyakarta

 

3. Prinses Julianaschool
(Sekolah Putri Juliana)

Adalah sekolah teknik (lokomotif dan bangunan air) setingkat SMK. Saat ini bangunannya dipakai sebagai SMK Negeri 2 Yogyakarta dan SMK Negeri 3 Yogyakarta.

 

4. Gouvernment Holland Inlandsche School (HIS)
(Sekolah Belanda-Pribumi Milik Pemerintah)

Adalah sekolah setingkat SD yang murid-muridnya berasal dari kaum Belanda dan kaum pribumi yang berada. Saat ini bangunannya dipakai sebagai SMP Negeri 6 Yogyakarta.

 

5. Gouvernment Inlandsche School
(Sekolah Pribumi milik Pemerintah)

Adalah sekolah setingkat SD yang murid-muridnya berasal dari kaum pribumi kebanyakan. Saat ini bangunannya dipakai sebagai SD Negeri 1 Jetis.

 


Nomor 1: Voorbereidende Afdeeling voor de Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzen

Nomor 2: Prinses Julianaschool

Nomor 3: Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzen

Nomor 4: Gouvernment Holland Inlandsche School

Nomor 5: Gouvernment Inlandsche School

Sumber: Dutch Colonial Maps - Leiden University

 

Karena menerapkan sistem pembelajaran Belanda dan dikelola oleh orang-orang Belanda, sekolah-sekolah kolonial ini berbeda dengan sekolah-sekolah tradisional. Perbedaan yang mencolok bisa dilihat dari gaya bangunannya.

 

Ciri khas bangunan sekolah peninggalan Belanda adalah menggunakan batu bata sebagai material konstruksinya. Batu bata yang digunakan memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih tebal dari batu bata merah saat ini. Kebanyakan batu bata jenis ini masih diimpor. Sebelum pabrik semen Padang berdiri pada tahun 1910, kebutuhan semen juga masih diimpor.

 

Orang-orang Belanda terbiasa membangun bangunan di negara asalnya menggunakan batu bata. Di tanah koloni, mereka tetap membangun menggunakan batu bata karena kurang mampu beradaptasi dengan teknik pembangunan lokal menggunakan kayu dan bambu.

 

Hanya saja, bangunan batu bata yang dibangun seperti di Belanda itu kurang nyaman dihuni di negeri tropis ini. Di sini tidak ada musim dingin yang menusuk tulang. Sebaliknya, udara yang lembab dan relatif hangat sepanjang tahun akan membuat penghuni bangunan gerah apabila aliran udara di dalam bangunan tidak lancar.

 

Oleh sebab itu, penyesuaian bangunan pun dilakukan oleh orang-orang Belanda. Gaya bangunan Belanda yang menyertakan elemen-elemen negeri tropis inilah yang kemudian dikenal dengan nama gaya bangunan Indis.

 

 

Sekolah-sekolah yang berdiri di kawasan Jetis juga dibangun sesuai arsitektur Indis. Ambil contoh bangunan HIS (SMP Negeri 6 Yogyakarta) dan Prinses Julianaschool (SMK Negeri 2 dan 3 Yogyakarta). Kedua sekolah ini dibangun dengan gaya bangunan Indis Art Deco yang lebih mengutamakan fungsi praktis daripada dekorasi.   

 

Ciri khas bangunan Indis Art Deco adalah denah bangunan yang simetris. Selain itu, pintu, jendela, dan lubang ventilasi pada bangunan ini berjumlah banyak agar udara di dalam bangunan lebih sejuk. Langit-langitnya pun dibuat setinggi mungkin.

 

Jendela dan pintu pada bangunan SMP Negeri 6 Yogyakarta menarik untuk diamati lebih lanjut. Ukuran jendela yang besar memberi banyak ruang bagi sirkulasi udara. Selain itu, pada jendela terdapat kisi-kisi yang berfungsi agar jendela tetap mengalirkan udara walaupun dalam posisi tertutup. Kisi-kisi ini pun diposisikan miring agar menahan debu yang terbawa udara.

 

 

Bangunan SMP Negeri 6 Yogyakarta yang menghadap ke arah utara (sesuai arah hadap pintu utamanya) membawa penyesuaian terhadap sumber pencahayaan. Di atas jendela dan pintu terdapat jendela kaca yang dapat dibuka miring. Fungsi jendela kaca ini adalah untuk memberikan tambahan pencahayaan pada ruang kelas. Meskipun pada masa itu listrik dan lampu sudah ada, akan tetapi terangnya lampu zaman dulu tentu berbeda dengan lampu saat ini.

 

Hal menarik lain dari bangunan SMP Negeri 6 Yogyakarta adalah langit-langitnya yang ditutupi lembaran anyaman bambu (gedhek). Selain untuk menahan debu atap agar tidak mengotori ruang kelas, penggunaan gedhek difungsikan untuk memberi kesan sejuk. Hingga saat ini gedhek ini masih rutin diremajakan.

 

 

Secara umum, saat ini bangunan sekolah di Indonesia masih mengadopsi empat komponen bangunan sekolah yang diperkenalkan pemerintah kolonial, yaitu

 

  1. Koridor (doorlop), 
  2. Ruang kelas memanjang,
  3. Aula, dan
  4. Toilet.

 

 

Koridor berfungsi sebagai ruang transisi dari satu bagian bangunan sekolah ke bagian bangunan yang lain. Koridor pada sekolah peninggalan Belanda terlindungi atap agar warga sekolah (khususnya para siswa) tidak kepanasan dan kehujanan.

 

Teras muka di SMK Negeri 2 Yogyakarta masih menempatkan elemen pilar. Hanya saja, pilar ini berfungsi praktis sebagai penopang atap, tidak lagi sebagai elemen dekorasi yang mencerminkan status sosial. Hal ini bisa dilihat dari bentuk pilar yang persegi, yang lebih mudah dibuat daripada pilar silinder gaya Romawi. 

 

 

Ruang kelas menjadi pembeda antara sekolah peninggalan Belanda dengan sekolah tradisional. Di ruang kelas sekolah peninggalan Belanda, murid-murid belajar dengan duduk di kursi dan menulis di atas meja. Di sekolah-sekolah tradisional umumnya murid-murid duduk bersila di lantai beralas tikar bersama sang guru.

 

Hal ini pula yang menyebabkan lantai bangunan sekolah peninggalan Belanda dilapisi tegel. Hanya saja, karena difungsikan sebagai bangunan publik, tegel yang dipakai cenderung polos. Lantai yang bertegel lebih bersih dibandingkan lantai tanah. Warga sekolah pun tidak perlu melepas alas kaki di sekolah.

 

 

Setiap bangunan sekolah peninggalan Belanda juga dilengkapi aula. Bagian sekolah ini memiliki beragam fungsi, yang utamanya sebagai tempat berkumpul orang banyak.

 

Perlu diketahui bahwa aula pada sekolah-sekolah kolonial itu dibangun tanpa dinding. Udara yang bebas mengalir membuat aula tidak pengap ketika dipakai berkumpul orang banyak. 

 

 

Sekolah-sekolah kolonial tidak dilengkapi kantin. Ketika jam istirahat, murid-murid menyantap makanan yang disediakan pihak sekolah. Terkadang aula digunakan sebagai tempat bersantap ataupun tempat bersosialisasi para murid.

 

Kurang paham apakah aula juga digunakan sebagai tempat upacara. Sebab, kegiatan upacara di sekolah baru ada ketika masa penjajahan Jepang.

 

 

Toilet turut menjadi pembeda antara sekolah kolonial dengan sekolah tradisional. Oleh sebab orang Belanda sangat mengedepankan sanitasi, keberadaan toilet di sekolah merupakan hal penting. Toilet pun dibangun lumayan jauh dari ruang-ruang kelas.

 

Karena toilet membutuhkan air bersih, maka sekolah-sekolah kolonial memiliki bak penampungan air yang airnya disuplai oleh perusahaan jaringan air bersih. Untuk menaikkan air ke bak penampungan air digunakan mesin pompa.

 

 

Demikianlah tulisan singkat tentang gaya bangunan sekolah peninggalan Belanda di kawasan perempatan Jetis, Kota Jogja. Semoga bangunan-bangunan sekolah ini tetap lestari di masa mendatang.

 

Terima kasih kepada Komunitas Malam Museum untuk acara Kelas Heritage: Menapaki Jejak Sejarah Pendidikan di Kawasan Jetis pada Minggu (8/3/2020) silam. #senyum

NIMBRUNG DI SINI