Jetis, ketika lidah orang Jogja mengucapkannya sebagai nJetis sebagaimana Bandung diucap sebagai mBandung. #hehehe
Jetis pun adalah nama tempat yang sepertinya terasa minim unsur kreatif #hehehe. Hitung saja, di Yogyakarta ada berapa banyak tempat yang menyandang nama Jetis?
“Jetis kota atau Jetis (m)Bantul?”
Adalah salah satu contoh pertanyaan yang bisa digunakan untuk memastikan letak Jetis yang dimaksud. Lazimnya, apabila sang penanya sedang berada di Bantul, maka dirinya memaksudkan (kecamatan) Jetis yang berada di Bantul. #senyum
Sedangkan bilamana yang dimaksud adalah (kecamatan) Jetis di Kota Jogja, maka
“(Sebelah) mananya perempatan (n)Jetis?”
adalah pertanyaan yang lazim terlontar. #senyum
Perempatan Sibuk di Utara Tugu Pal Putih
Berjarak sekitar 550 meter (menurut Google Maps #hehehe) di utara Tugu Pal Putih via Jl. A.M. Sangaji, perempatan Jetis adalah salah satu kawasan tersibuk di Kota Jogja kala pagi. Sebabnya, di sekitar perempatan Jetis itu ada
- SD Negeri 1 Jetis,
- SD Negeri Jetisharjo,
- SMP Negeri 6,
- SMA Negeri 11,
- SMK Negeri 2, dan
- SMK Negeri 3.
Itu baru sekolah negeri, belum sekolah swasta macamnya SD Tumbuh dan SMP Taman Dewasa. #hehehe
Untungnya pula kesibukan di perempatan Jetis hanya berpotensi terjadi pada pagi hari kerja. Selebihnya, perempatan Jetis tak ada bedanya dengan perempatan lain di Kota Jogja.
Untung pula durasi lampu merah perempatan Jetis tak sekejam perempatan Pingit. #hehehe
Untung pula sejak dari selatan boleh langsung ke barat, kendaraan yang menumpuk nggak begitu banyak.
Lalu, lalu, dan lalu. Dengan banyaknya sekolah di kawasan perempatan Jetis,
"Apakah sejak dahulu lokasi ini merupakan kawasan pendidikan?"
Jawabannya bisa yes dan juga bisa no. #senyum.lebar
Tergantung mengacu pada kurun tahun berapa?
Perempatan Jetis pada Era Kolonial
Dengan demikian, marilah kita simak bersama peta Kota Jogja yang dibuat pada tahun 1920 di bawah ini, yang merupakan arsip milik Universitas Leiden di Belanda.
Tata Kota Jogja pada tahun 1920 sebagian besar mirip seperti tata Kota Jogja ketika Pembaca menyimak aksara ini. Dari peta di atas, pada tahun 1920 di Kota Jogja itu
- sudah ada Tugu Pal Putih,
- sudah ada Pasar Kranggan,
- sudah ada Jl. Margo Utomo (lebih dikenal sebagai Jl. Pangeran Mangkubumi),
- sudah ada Stasiun (Tugu) Yogyakarta dan Stasiun Lempuyangan, serta
- sudah ada Jl. Malioboro.
Sebagian kecil yang belum ada di Kota Jogja pada tahun 1920 adalah kompleks perumahan Kotabaru dan sekolah-sekolah di kawasan Jetis.
Seperti yang terlihat pada peta, pada tahun 1920 wujud kawasan Jetis masih identik dengan hijau-hijau alias sawah, kebun, dan ladang. Mungkin itulah sebabnya kawasan ini dinamai Jetis karena di sini banyak ladang bawang.
Nah itu! Katanya, nama Jetis itu berarti tanaman bawang!
Entah benar atau tidak.
Entah bawang putih atau bawang merah.
Harus dikonfirmasi lagi.
Tapi, tolonglah bayangkan kawasan Jetis pada tahun 1920 itu didominasi hamparan ladang. Blas sama sekali nggak ada bangunan-bangunan besar seperti yang eksis sekarang ini.
Bahkan pada tahun 1920 itu perempatan Jetis belum ada! #hehehe
Kemudian lima tahun berlalu sejak tahun 1920.
Tibalah kita pada tahun 1925.
Lagi-lagi, dengan menyimak peta Kota Jogja tahun 1925 yang merupakan arsip milik Universitas Leiden di Belanda, ternyata kawasan Jetis sudah berubah cukup pesat dalam 5 tahun! #wow
Cikal bakal perempatan Jetis muncul dengan hadirnya Prinses Juliana Laan yang kini dikenal dengan nama Jl. R.W. Monginsidi. Meskipun demikian, pada tahun 1925 jalan ini belum tembus ke Jl. Magelang.
Menurut peta tahun 1925 di atas, dari perempatan Jetis, Prinses Juliana Laan berujung di suatu rumah tua. Eh, pada tahun 1925 itu rumahnya belum cocok disebut tua sih. #hehehe
Syukur Alhamdulillah, saat ini rumah di ujung Prinses Juliana Laan itu masih ada. Kondisinya pun sangat terawat baik karena merupakan aset Bank Mandiri. #hehehe
SILAKAN DIBACA
Apabila kita blusukan di kawasan Prinses Juliana Laan, di sana-sini banyak berdiri rumah Belanda bergaya Indis langgam Art Deco. Gaya rumah yang populer pada awal abad ke-20 ini lebih mengedepankan fungsi praktis hunian tropis.
Pertanyaannya,
“Kenapa banyak rumah Belanda di kawasan Prinses Juliana Laan?”
Jawabannya, mungkin ada hubungannya dengan perubahan fungsi kawasan Jetis dari ladang bawang menjadi kawasan pendidikan. #senyum
Mari kita simak kembali peta Kota Jogja tahun 1925! Perhatikan bahwa pada tahun 1925 di kawasan perempatan Jetis sudah berdiri sekolah-sekolah yang kini dikenal sebagai
- SD Negeri 1 Jetis,
- SD Tumbuh,
- SMK Negeri 3 Yogyakarta,
- SMK Negeri 2 Yogyakarta,
- SMP Negeri 6 Yogyakarta,
- SMA Negeri 11 Yogyakarta, dan
- Markas Kodim 0734 Yogyakarta #senyum.lebar.
Sekolah-sekolah yang lumayan banyak itu jelas membutuhkan banyak tenaga kerja. Dengan berasumsi bahwa angkutan umum amat jarang pada tahun 1925 (bahkan mungkin tidak ada #hehehe), maka tenaga kerja pada sekolah-sekolah itu bertempat tinggal di sekitar kawasan sekolah.
Jadi, apakah dengan demikian kawasan Jl. R.W. Monginsidi alias Prinses Juliana Laan dahulunya adalah kawasan perumahan guru?
Bisa yes, bisa no. #senyum.lebar
Jetis Berkembang Akibat Politik
Beralih fungsinya kawasan Jetis menjadi kawasan pendidikan tidak lepas dari politik etis atau politik balas budi yang diserukan Ratu Wilhelmina ketika beliau naik tahta pada 17 September 1901. Pemerintah kolonial “kini” bertanggung-jawab terhadap kesejahteraan warga pribumi. Salah satu kesejahteraan itu adalah pendidikan.
Pada awal abad ke-20 tren menghasilkan uang mulai berubah. Revolusi industri mengubah segalanya. Mesin-mesin hadir di peradaban manusia. Semula, uang berasal dari hasil bercocok tanam. Kini, uang diperoleh dari hasil mesin-mesin pabrik yang sedia bekerja 24 jam tanpa henti.
Orang-orang Belanda pun tertarik mendirikan pabrik-pabrik di tanah koloni. Mengolah hasil alam tentu akan mendongkrak nilai jual. Ambil contoh tebu yang diolah menjadi gula.
Oleh sebab itu, warga pribumi harus lebih terampil supaya bisa bekerja di pabrik. Tidak mungkinlah jika semua pekerja pabrik adalah orang Belanda! Jabatan prestius itu jatahnya orang Belanda. Sedangkan jabatan lain terutama pekerja rendahan ya jatahnya warga pribumi. #duh
Maka dari itu, pendidikan adalah koentji dari suksesnja operasional pabrik! Setidaknya, warga pribumi yang bekerja di pabrik bisa membaca, menulis, dan menghitung. Mengoperasikan benda-benda di pabrik jelas tidak sesederhana macul di sawah kan? #hehehe
Jadi, lumrah toh bilamana pada akhirnya banyak bermunculan sekolah?
Kenapa Harus di Jetis?
Lalu, lalu, dan lalu. Bertanya lagi,
"Mengapa kawasan sekolah-sekolah Belanda ini berada di kawasan Jetis?"
Patokannya adalah Keraton. Tidak mungkin membangun di wilayah selatan Keraton karena tanah-tanah di sana hampir seluruhnya dikuasai bangsawan kerajaan. Berkaca pada insiden Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, pemerintah kolonial tentu kini lebih berhati-hati mencaplok lahan. #hehehe
Mau membangun di sisi timur atau sisi barat? Ingat, bahwa pusat Kota Jogja memiliki geografi yang unik karena dibatasi Kali Code (di timur) dan Kali Winongo (di barat). Membangun jembatan bukan hal yang mudah pada masa itu. Jadi, sebisa mungkin lahan pembangunan tidak di sisi seberang sungai lah.
Nah, karena hal-hal yang demikian itulah akhirnya wilayah di utara Keraton dipilih oleh pemerintah kolonial. Toh, sebagian besar lahan di wilayah utara Keraton masih berwujud ladang dan sawah rakyat jelata yang... mudah untuk diambil alih. #hehehe
Kenapa pula pembangunan kawasan pendidikan ini tidak di utara Kotabaru yang notabene adalah pemukiman Belanda?
Jawabannya, mungkin karena pemerintah kolonial ingin mengembangkan wilayah di utara Tugu Pal Putih. Akses jalan dari kawasan ini menuju Stasiun (Tugu) Yogyakarta pun lebih mudah dan singkat.
Tapi ingat ya, uraian di atas ini hanya sebatas pemikiran dangkalku saja. #hehehe
Jetis Lebih Dalam Lagi
Demikianlah kisah sejarah singkat kawasan Jetis yang letaknya di utara Tugu Pal Putih Yogyakarta. Kawasan perempatan jalan yang berperan besar dalam perkembangan pendidikan di Yogyakarta dan di Indonesia. #senyum
Eh, sebetulnya masih banyak kisah-kisah sejarah yang bisa diendus di kawasan Jetis. Misalnya, makam-makam cina di Kampung Cokrokusuman dan rumor pesanggarahan Keraton di sekitar Jl. Jetis Pasiraman.
Hidup Jetis! #senyum.lebar
NIMBRUNG DI SINI
-
#ZAMMinggu, 12 Jul 2020, 14:10 WIBbaru nyadar, bener juga.. di area Jetis itu kenapa banyak sekolah..
-
#N FIRMANSYAHKamis, 9 Jul 2020, 17:51 WIBYa ampun, lengkap sekali. Jadi kangen ke Jogja lagi huhu
-
#ADITKamis, 30 Apr 2020, 11:46 WIBwow, komplit infonya. makasih kak