HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Sejarah Kolonial di Perempatan Jetis

Rabu, 11 Maret 2020, 10:24 WIB

Jetis, ketika lidah orang Jogja mengucapkannya sebagai nJetis sebagaimana Bandung diucap sebagai mBandung. #hehehe

 

Jetis pun adalah nama tempat yang sepertinya terasa minim unsur kreatif #hehehe. Hitung saja, di Yogyakarta ada berapa banyak tempat yang menyandang nama Jetis?

 

“Jetis kota atau Jetis (m)Bantul?”

 

Adalah salah satu contoh pertanyaan yang bisa digunakan untuk memastikan letak Jetis yang dimaksud. Lazimnya, apabila sang penanya sedang berada di Bantul, maka dirinya memaksudkan (kecamatan) Jetis yang berada di Bantul. #senyum

 


Peta kawasan perempatan Jetis di Google Maps.

 

Sedangkan bilamana yang dimaksud adalah (kecamatan) Jetis di Kota Jogja, maka

 

“(Sebelah) mananya perempatan (n)Jetis?”

 

adalah pertanyaan yang lazim terlontar. #senyum

 

Perempatan Sibuk di Utara Tugu Pal Putih

Berjarak sekitar 550 meter (menurut Google Maps #hehehe) di utara Tugu Pal Putih via Jl. A.M. Sangaji, perempatan Jetis adalah salah satu kawasan tersibuk di Kota Jogja kala pagi. Sebabnya, di sekitar perempatan Jetis itu ada

 

 

Itu baru sekolah negeri, belum sekolah swasta macamnya SD Tumbuh dan SMP Taman Dewasa. #hehehe

 


Suasana perempatan Jetis pada pagi yang tidak sibuk.

 

Untungnya pula kesibukan di perempatan Jetis hanya berpotensi terjadi pada pagi hari kerja. Selebihnya, perempatan Jetis tak ada bedanya dengan perempatan lain di Kota Jogja.

 

Untung pula durasi lampu merah perempatan Jetis tak sekejam perempatan Pingit. #hehehe

 

Untung pula sejak dari selatan boleh langsung ke barat, kendaraan yang menumpuk nggak begitu banyak.

 

 

Lalu, lalu, dan lalu. Dengan banyaknya sekolah di kawasan perempatan Jetis,

 

"Apakah sejak dahulu lokasi ini merupakan kawasan pendidikan?"

 

Jawabannya bisa yes dan juga bisa no. #senyum.lebar

 

Tergantung mengacu pada kurun tahun berapa?

 

Perempatan Jetis pada Era Kolonial

Dengan demikian, marilah kita simak bersama peta Kota Jogja yang dibuat pada tahun 1920 di bawah ini, yang merupakan arsip milik Universitas Leiden di Belanda. 

 


Peta kawasan perempatan Jetis pada tahun 1920.
Sumber peta dari Dutch Colonial Maps Leiden University.

 

Tata Kota Jogja pada tahun 1920 sebagian besar mirip seperti tata Kota Jogja ketika Pembaca menyimak aksara ini. Dari peta di atas, pada tahun 1920 di Kota Jogja itu

 

 

Sebagian kecil yang belum ada di Kota Jogja pada tahun 1920 adalah kompleks perumahan Kotabaru dan sekolah-sekolah di kawasan Jetis.

 

Seperti yang terlihat pada peta, pada tahun 1920 wujud kawasan Jetis masih identik dengan hijau-hijau alias sawah, kebun, dan ladang. Mungkin itulah sebabnya kawasan ini dinamai Jetis karena di sini banyak ladang bawang.

 

Nah itu! Katanya, nama Jetis itu berarti tanaman bawang! 

 

Entah benar atau tidak.
Entah bawang putih atau bawang merah.
Harus dikonfirmasi lagi. 

 

Tapi, tolonglah bayangkan kawasan Jetis pada tahun 1920 itu didominasi hamparan ladang. Blas sama sekali nggak ada bangunan-bangunan besar seperti yang eksis sekarang ini.

 

Bahkan pada tahun 1920 itu perempatan Jetis belum ada! #hehehe

 


Peta kawasan perempatan Jetis pada tahun 1925.
Sumber peta dari Dutch Colonial Maps Leiden University.

 

Kemudian lima tahun berlalu sejak tahun 1920.
Tibalah kita pada tahun 1925.

 

Lagi-lagi, dengan menyimak peta Kota Jogja tahun 1925 yang merupakan arsip milik Universitas Leiden di Belanda, ternyata kawasan Jetis sudah berubah cukup pesat dalam 5 tahun! #wow 

 

Cikal bakal perempatan Jetis muncul dengan hadirnya Prinses Juliana Laan yang kini dikenal dengan nama Jl. R.W. Monginsidi. Meskipun demikian, pada tahun 1925 jalan ini belum tembus ke Jl. Magelang

 

Menurut peta tahun 1925 di atas, dari perempatan Jetis, Prinses Juliana Laan berujung di suatu rumah tua. Eh, pada tahun 1925 itu rumahnya belum cocok disebut tua sih. #hehehe 

 

Syukur Alhamdulillah, saat ini rumah di ujung Prinses Juliana Laan itu masih ada. Kondisinya pun sangat terawat baik karena merupakan aset Bank Mandiri. #hehehe

 


Rumah tua Belanda yang terawat di percabangan barat Jl. R.W. Monginsidi dan Jl. Tri Margo.

 

 

Apabila kita blusukan di kawasan Prinses Juliana Laan, di sana-sini banyak berdiri rumah Belanda bergaya Indis langgam Art Deco. Gaya rumah yang populer pada awal abad ke-20 ini lebih mengedepankan fungsi praktis hunian tropis.

 

Pertanyaannya, 

 

“Kenapa banyak rumah Belanda di kawasan Prinses Juliana Laan?”

 

Jawabannya, mungkin ada hubungannya dengan perubahan fungsi kawasan Jetis dari ladang bawang menjadi kawasan pendidikan. #senyum

 


Suasana Jl. R.W. Monginsidi yang dahulu bernama Prinses Juliana Laan.

 

Mari kita simak kembali peta Kota Jogja tahun 1925! Perhatikan bahwa pada tahun 1925 di kawasan perempatan Jetis sudah berdiri sekolah-sekolah yang kini dikenal sebagai 

 

 

Sekolah-sekolah yang lumayan banyak itu jelas membutuhkan banyak tenaga kerja. Dengan berasumsi bahwa angkutan umum amat jarang pada tahun 1925 (bahkan mungkin tidak ada #hehehe), maka tenaga kerja pada sekolah-sekolah itu bertempat tinggal di sekitar kawasan sekolah.

 

Jadi, apakah dengan demikian kawasan Jl. R.W. Monginsidi alias Prinses Juliana Laan dahulunya adalah kawasan perumahan guru?

 

Bisa yes, bisa no. #senyum.lebar

 


Salah satu rumah tua Belanda di Jl. R.W. Monginsidi yang pernah difungsikan sebagai kafe.

 

Jetis Berkembang Akibat Politik

Beralih fungsinya kawasan Jetis menjadi kawasan pendidikan tidak lepas dari politik etis atau politik balas budi yang diserukan Ratu Wilhelmina ketika beliau naik tahta pada 17 September 1901. Pemerintah kolonial “kini” bertanggung-jawab terhadap kesejahteraan warga pribumi. Salah satu kesejahteraan itu adalah pendidikan.

 

Pada awal abad ke-20 tren menghasilkan uang mulai berubah. Revolusi industri mengubah segalanya. Mesin-mesin hadir di peradaban manusia. Semula, uang berasal dari hasil bercocok tanam. Kini, uang diperoleh dari hasil mesin-mesin pabrik yang sedia bekerja 24 jam tanpa henti. 

 

Orang-orang Belanda pun tertarik mendirikan pabrik-pabrik di tanah koloni. Mengolah hasil alam tentu akan mendongkrak nilai jual. Ambil contoh tebu yang diolah menjadi gula.

 

Oleh sebab itu, warga pribumi harus lebih terampil supaya bisa bekerja di pabrik. Tidak mungkinlah jika semua pekerja pabrik adalah orang Belanda! Jabatan prestius itu jatahnya orang Belanda. Sedangkan jabatan lain terutama pekerja rendahan ya jatahnya warga pribumi. #duh  

 

Maka dari itu, pendidikan adalah koentji dari suksesnja operasional pabrik! Setidaknya, warga pribumi yang bekerja di pabrik bisa membaca, menulis, dan menghitung. Mengoperasikan benda-benda di pabrik jelas tidak sesederhana macul di sawah kan? #hehehe

 

Jadi, lumrah toh bilamana pada akhirnya banyak bermunculan sekolah?

 


Salah satu suasana kelas di SMP Negeri 6 Yogyakarta.

 

Kenapa Harus di Jetis?

Lalu, lalu, dan lalu. Bertanya lagi, 

 

"Mengapa kawasan sekolah-sekolah Belanda ini berada di kawasan Jetis?"

 

Patokannya adalah Keraton. Tidak mungkin membangun di wilayah selatan Keraton karena tanah-tanah di sana hampir seluruhnya dikuasai bangsawan kerajaan. Berkaca pada insiden Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, pemerintah kolonial tentu kini lebih berhati-hati mencaplok lahan. #hehehe 

 

Mau membangun di sisi timur atau sisi barat? Ingat, bahwa pusat Kota Jogja memiliki geografi yang unik karena dibatasi Kali Code (di timur) dan Kali Winongo (di barat). Membangun jembatan bukan hal yang mudah pada masa itu. Jadi, sebisa mungkin lahan pembangunan tidak di sisi seberang sungai lah.

 


Peta kawasan perempatan Jetis pada tahun 1945.
Terlihat bahwa kawasan perempatan Jetis (dan umumnya pusat Kota Jogja) itu diapit dua sungai.
Sumber peta dari Dutch Colonial Maps Leiden University.

 

Nah, karena hal-hal yang demikian itulah akhirnya wilayah di utara Keraton dipilih oleh pemerintah kolonial. Toh, sebagian besar lahan di wilayah utara Keraton masih berwujud ladang dan sawah rakyat jelata yang... mudah untuk diambil alih. #hehehe

 

Kenapa pula pembangunan kawasan pendidikan ini tidak di utara Kotabaru yang notabene adalah pemukiman Belanda? 

 

Jawabannya, mungkin karena pemerintah kolonial ingin mengembangkan wilayah di utara Tugu Pal Putih. Akses jalan dari kawasan ini menuju Stasiun (Tugu) Yogyakarta pun lebih mudah dan singkat.

 

Tapi ingat ya, uraian di atas ini hanya sebatas pemikiran dangkalku saja. #hehehe

 


Prasasti peresmian jalan di utara perempatan Jetis pada tahun 1992.
Mungkinkah tahun-tahun sebelumnya wujud jalan ini masih nggak karu-karuan?

 

Jetis Lebih Dalam Lagi

Demikianlah kisah sejarah singkat kawasan Jetis yang letaknya di utara Tugu Pal Putih Yogyakarta. Kawasan perempatan jalan yang berperan besar dalam perkembangan pendidikan di Yogyakarta dan di Indonesia. #senyum

 

Eh, sebetulnya masih banyak kisah-kisah sejarah yang bisa diendus di kawasan Jetis. Misalnya, makam-makam cina di Kampung Cokrokusuman dan rumor pesanggarahan Keraton di sekitar Jl. Jetis Pasiraman

 

Hidup Jetis! #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI