Foto yang tergantung di dinding ruang tamu itu menjadi pengingat bahwasanya yang bersangkutan – beliau – pernah hadir pada suatu masa.
Masa ketika yang berbanyak pernah bersama.
Masa beberapa tahun yang lalu, yang terasa baru kemarin berlalu. #senyum
Oleh sebab itulah foto beliau tak akan pernah diturunkan dari dinding ruang tamu. Sebagai pengingat, bahwasanya rumah ini merupakan tempat tinggal beliau. Yang harus senantiasa dijaga dan dirawat. Sehingga jika suatu saat menjenguk, beliau tidak akan kecewa.
Eh... mungkin hanya akan sedikit kaget karena di rumah kini lebih banyak tanaman dan pasukan berkumis. #hehehe
Akan tetapi, pada akhirnya tibalah masa ketika foto itu menjejak dinginnya lantai. Serbuk-serbuk kayu membekas di kaca. Bingkainya tak ada bedanya dengan biskuit yang sudah melempem.
Apa yang berwujud di dunia memanglah fana. Beliau, kita, dan demikian pula foto itu.
Sedih pada benda mati tidak perlu berlama-lama. Mereka yang rusak bisa terganti dengan duplikat. Apalagi pada zaman ketika teknologi semakin canggih.
Selalu ada pro dan kontra menyangkut orisinalitas. Kesan bersejarah tidak akan tergantikan. Meski demikian, benda yang rawan rusak sebaiknya diremajakan. Apalagi jika menyangkut keselamatan. Benda yang rusak, sudah seharusnya diganti.
Namun, ada kalanya duplikat tidak bisa dibuat. Sebabnya, tidak ada tempat berkarya.
Pada Oktober 2016 silam, seluruh lapak perajin bingkai di kawasan Sagan tak lagi utuh. Yang tersisa hanya puing di sana-sini.
Di banyak lapak sejumlah benda masih tertinggal. Entah sengaja ditinggal atau memang belum diamankan.
Sempat terbesit dalam hati. Apakah ini tanda punahnya para perajin bingkai?
Roda kehidupan tetap berputar. Lapak yang hancur bukan alasan untuk berdiam. Semangat kegigihan memancar di sana-sini.
Sejumlah perajin menyewa kios di tempat lain. Sejumlah yang lain membuat kios darurat di pinggir jalan. Semata-mata demi pelanggan yang membutuhkan jasa perajin bingkai.
“Rencananya Desember nanti selesai Mas,” kata seorang bapak perajin yang sedang mengemasi perkakasnya.
Beruntunglah ini bukan penggusuran permanen. Hanya peremajaan kawasan sebagaimana penanganan benda yang rawan rusak. Bersyukurlah tak ada ambisi mewujudkan “kawasan steril” sampai “sebegitunya”. #hehehe
Kita hidup pada zaman ketika telepon semakin pintar. Alat perekam gambar kian menyatu dengan telepon. Wujudnya semakin ringkas. Pengoperasiannya tidak merepotkan.
Dengan segala kemudahan itu, galeri di media sosial lebih dipilih daripada mencetak, membingkai, dan memajang. Praktis dan gratis.
Akan tetapi, tetap ada saja hasrat untuk mewujudkan kenangan dalam cetakan foto. Ada kesan yang tidak bisa tergantikan ketika menatap foto terbingkai yang terpajang di dinding.
Oleh sebab itu, para perajin bingkai di kawasan Sagan sepertinya tidak akan pernah hilang. #senyum
Berdiri di atas puing-puing lapak perajin bingkai. Sejurus kemudian pandangan teralih pada SPBU yang tak jelas pangkal nyawanya.
Sejenak diam, mencocokkan petunjuk dan serpihan kenangan. Toh, akhirnya hanya bisa menggumam dalam hati,
“Makam Cinanya, ada di mana? Apa masih bersisa?”