HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Reruntuhan Tua di Seberang Stasiun Kedundang

Senin, 11 November 2019, 20:45 WIB

Waktu telah berlalu lebih cepat dari laju sang ular besi. Segala sesuatu yang pernah menyapa senantiasa berubah seiring bergulirnya era.

 

Derap sang ular besi mungkin adalah yang tak pernah berubah semenjak Stasiun Kedundang berdiri pada akhir dekade 1870-an. Artinya, sudah hampir 150 tahun kereta api melintasi tempat ini.

 

Hmmm... seratus-puluh tahun silam, apakah engkau juga menanti di sini? 

 

 

Dari sekian banyak jepretan, kurang lengkap bilamana tidak mengabadikan bangunan Stasiun Kedundang dari sisi utara. Tapi, karena ada papan milik Kementerian Perhubungan yang bertuliskan, 

 

DILARANG MASUK AREA JALUR KERETA API

ANCAMAN HUKUMAN DENDA ATAU KURUNGAN

 

Maka dari itu sepeda motor kesayangan kembali ditunggangi.
Balik lagi menyusuri jalan raya.
Lalu menyeberangi perlintasan resmi rel kereta api.
Dilanjut menyusuri cabang jalan desa yang mengarah ke sisi utara rel. #taat.aturan

 

 

Tiba di seberang Stasiun Kedundang. Jembatan kecil bekas rel mengarah ke lokasi pemotretan yang dituju.

 

Akan tetapi, niat memotret bangunan stasiun menjadi tertunda. Ada suatu objek menarik di tengah tanah lapang. Semak dan pohon seakan mengaburkan eksistensinya.

 

Hanya ada papan larangan masuk bagi pemulung. Untung, aku bukan pemulung. #hehehe

 

 

Reruntuhan tua di seberang Stasiun Kedundang. Berukuran tidak seberapa luas. Berdenah menyerupai bujur sangkar. Kira-kira lima meter kali lima meter luasnya.

 

Apa ini rumah?

Rumah tua peninggalan Belanda?

Rumah kepala Stasiun Kedundang pada zaman dahulu?

 

Sayang, di bangunan tak ada teks pengidentifikasi.

 

 

Rongga di dinding yang menganga mengundang penasaran. Coba-coba melongok apa isinya.

 

Sekiranya bangunan ini punya tiga bilik. Mungkin dahulu bilik-bilik ini kamar, tempat manusia beraktivitas. Dahulu, penghuninya mungkin hanya segelintir.

 

Pohon dan semak tumbuh subur hampir di setiap bilik. Sebagian besar plester dinding masih utuh.

 

Ingin rasanya mengorek lebih jauh dasar bangunan. Tapi, sepertinya ini bukan waktu yang tepat.

 

Tak ada sama sekalikah jejak kehidupan manusia yang tertinggal?

 

 

Juga tertutup semak dan rumput liar, teras kecil berada di luar rumah. Mungkin, penghuni masuk dan keluar dari teras ini.

 

Ketinggian teras berada beberapa hasta dari permukaan tanah. Susunan anak tangga kecil menjadi penghubung antara teras dengan tanah.

 

Orang yang hendak masuk ke bangunan ini harus menaiki anak tangga kecil menuju teras. Di ujung teras terdapat pintu utama.

 

Ya, asumsikan saja reruntuhan bangunan ini adalah rumah. Rumah tua peninggalan Belanda.

 

 

Di dekat teras kecil, ada sumur. Serupa teras, sumur pun dilengkapi susunan anak tangga. Bantuan bagi mereka yang berperawakan kecil atau mengantisipasi banjir?

 

Melongok ke dasar sumur, air tampak menggenang. Selama ratusan tahun, sepertinya sumur tidak pernah kehabisan air. Tapi, serasa jarang digunakan oleh warga masa kini, yang rumah bagusnya hanya beberapa meter dari sini.

 

Pada masanya, setiap hari ember kaleng acap kali menyapa dinginnya air sumur. Plung. Digunakan untuk keperluan para penghuni rumah.

 

 

Di dekat teras kecil juga ada reruntuhan lain. Mungkin, dulu menjadi satu dengan bangunan inti. Mungkin pula bangunan terpisah yang peruntukannya sebagai gudang, dapur, atau kamar mandi.

 

Di dalam buku "Kebudayaan Indis" yang ditulis oleh Pak Djoko Soekiman, ada sebutan Landhuizen bagi bangunan rumah tinggal perpaduan rumah Belanda dengan rumah pribumi Jawa. Orang Jogja lebih akrab menyebutnya sebagai omah londo.

 

Rumah tropis yang dirancang orang Belanda ini memiliki dinding tembok yang tebal dan langit-langit yang tinggi untuk menghalau panas. Lantainya bertingkat untuk menghindari udara lembab. Tak lupa lantai berlapis ubin dan ukuran jendela serta pintu yang besar.

 

 

Perkara buang hajat penghuni rumah menyesuaikan dengan budaya lokal. Bilik mungil di pinggir sungai adalah TKP-nya.

 

Sedangkan untuk perkara mandi, beberapa rumah dilengkapi bilik khusus dengan tong. Air di tong ditimba dari sumur. 

 

Pada umumnya, orang Belanda itu tidak begitu sering mandi. Pun mandi bersama warga pribumi di sungai adalah sesuatu yang kurang elok.

 

Rutinitas bersih diri orang Belanda yang sering adalah cuci muka. Maka dari itu, di kamar tidur umumnya ada wastafel.

 

Budaya manusia yang tinggal di belahan tropis dan empat musim memang beda. Khususnya perkara mandi. #hehehe

 

 

Hamparan batu bata turut menjadi saksi bisu suatu peradaban. Tercerai-berai, adakah serpihan cerita apabila mereka terangkai?

 

Tak ada penanda si pembuat batu bata. Hanya torehan berlekuk di tengah sebagai karakteristik. Torehan kasar, dibuat tanpa cetakan, agaknya manual dengan suatu bilah.

 

Goyah didera alam yang aktif. Gempa mungkin salah satu penyebab batu bata ini berserak.

 

Gempa pula mungkin yang membuat bangunan tua ini runtuh.

 

 

Runtuhan tua di seberang Stasiun Kedundang. Gerangan rumah tua peninggalan Belanda.

 

Saksi peradaban ratusan tahun usianya. Tatkala sang ular besi mulai berdesis, merayap di tanah Yogyakarta. Eh... tepatnya Kadipaten Pakualaman #hehehe. Baru tahun 1951 lahir Kabupaten  Kulon Progo.

 

Ratusan tahun telah berlalu.
Entah berapa tahun engkau menjadi penaung manusia.
Entah berapa tahun lagi engkau masih berjejak.
Entah apakah kelak engkau akan sirna.

 

Wahai runtuhan tua di seberang Stasiun Kedundang, pada natal 2018.

NIMBRUNG DI SINI