Suatu foto di internet mengundang rasa penasaran sang istri terlucyu. Di foto itu tertampil jembatan bambu yang membentang di atas sungai hijau.
Kata sang istri, itu foto kawasan Wisata Alam Coblosan. Lokasinya di Dusun Sawah Lor, Desa Banyusoco, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta.
Alhasil, karena agenda jalan-jalan pada Minggu pagi (22/7/2018) yang lalu masih membingungkan, jadilah Wisata Alam Coblosan terpilih sebagai tujuan. #senyum.lebar
Sang istri bilang, jalan menuju ke kawasan Wisata Alam Coblosan searah dengan Hutan Turunan. Jadi, ini seakan menapak tilas keluyuran pertama setelah menikah 7 bulan silam. #hehehe
Jalan Imogiri Barat – Tanjakan Siluk – Pertigaan ke Hutan Turunan dipilih sebagai rute. Sebelum menyeberangi jembatan besi Banyusoco yang membelah anak Kali Oya, dipilih cabang jalan ke kiri (barat) menuju ke Dusun Sawah Lor. Jarak total sekitar 50 km dari pusat Kota Jogja.
Seorang simbah putri warga Dusun Sawah Lor memberitahu arah. Dari pertigaan dekat masjid sepeda motor digas pelan menyusuri jalanan desa. Nggak seberapa lama tibalah di suatu tanah lapang dengan gapura bambu bertuliskan “Selamat Datang”.
Kebingungan melanda. Di sinikah Wisata Alam Coblosan itu?
Kok bau-baunya tempat wisata yang sepi? #hehehe
Tapi, karena sudah jauh-jauh sampai ke sini, nggak ada salahnya melongok sebentar pemandangan di balik gapura.
Hooo.... rupanya di balik gapura terhampar pemandangan lembah sungai. Tanpa bertanya-tanya, bergegaslah menyusuri jalan setapak hingga ke tepinya.
Beberapa warga beraktivitas di sepanjang jalan setapak. Semuanya mengabarkan informasi yang sama:
Jembatan bambunya hanyut tak bersisa terbawa banjir badai Cempaka November 2017 silam!
Weh!
Rupanya bukan jembatan di Pundong saja yang hanyut. #sedih
Jembatan bambu sudah hanyut, kini yang tersisa hanya coblosan. Apa itu coblosan? Nggak lain adalah batu yang berlubang layaknya kertas setelah dicoblos.
Bukit Karst menjulang tinggi di seberang sungai. Di puncaknya bertengger batu coblosan. Karena jembatan bambu sudah hanyut, jadilah meniti batu-batu melintasi sungai. Untung musim kemarau.
Sebuah saung menanti seusai menuntaskan pendakian. Lumayan sebagai tempat melepas lelah. Walaupun atapnya tak lagi berpeneduh.
Dari puncak terhampar pesona lembah sungai. Masih asri. Masih banyak pohon. Seakan belum tersentuh peradaban manusia. Indah sekali. Sesuatu yang tidak ada di kota besar.
Mungkin demikianlah cara kerja alam. Dari sudut pandang manusia kerap dipadankan dengan bencana. Tapi, dari sudut pandang alam mungkin ia hanya ingin kembali sebagaimana “aslinya”.
“Ojo susah nyawang wong bungah.
Ojo bungah nyawang wong susah.”
Kata-kata yang tergantung di tiang saung haruslah menjadi pengingat. Ibarat roda yang berputar, segala sesuatu akan berubah.
Dari dasar ke puncak.
Dari puncak ke dasar.
Dari awal ke akhir.
Selesai dan menjadi aslinya.
Tanah.