HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Segersang Hati di Pucuk Miri

Kamis, 31 Oktober 2019, 13:14 WIB

Ketika kemarau datang, hijau seakan lenyap dari bumi.

 

Cokelat, kuning, dan jingga mewarnai pemandangan.

 

Terlebih lagi ketika hujan tak kunjung hadir.

 

Kelabu pun menyapu semua yang kian berdebu.

 

 

Tapi, karena kemarau, pohon dan semak tak lagi lebat.

  

Hutan yang membingungkan menyisakan batang dan ranting.

 

Dedaunan kering berserakan di sana-sini.

 

Diselingi jalan setapak yang membentang hingga ke ujung.

 

 

Selangkah demi selangkah di antara ladang kering.

 

Menyusuri satu demi satu tiang beton.

 

Mengikuti kabel hitam pemandu arah.

 

Hingga tibalah di antara pohon-pohon yang masih merindang hijau.

 

 

Demikianlah yang disebut dengan nama Candi Miri.

 

Candi yang berdiri di puncak perbukitan Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta.

 

Candi dengan latar belakang agama Hindu.

 

Candi yang kini sulit dikenali wujud aslinya.

 

 

Meski demikian, beruntunglah nasib Candi Miri.

 

Walau berkawan gersang, sekelilingnya bersih dan rapi.

 

Beda kala perdana singgah, akhir 2008 silam.

 

Semak liar menyamarkan kesakralannya di dalam hutan.

 

 

Kini arca-arca Candi Miri pun lebih baik.

 

Mereka tak lagi terguling di antara belukar.

 

Walau beberapa di antaranya tak lagi utuh.

 

Tapi, cukup menjadi bukti corak Hindu pada candi.

 

 

Dan di bawah terik matahari kemarau, apalagi yang didamba selain tempat berteduh.

 

Sebuah bilik sederhana berdiri di ujung taman.

 

Di sudutnya menumpuk botol plastik penyiram tanaman.

 

Pun hanya kami yang menumpang singgah.

 

 

Di puncak bukit ini, Candi Miri bukan satu-satunya daya tarik.

 

Tak jauh dari sana, tanah lapang membentang.

 

Berbataskan tepi jurang.

 

Berpanorama hamparan sawah berkawan langit biru.

 

 

Duduk beralas batu, menikmati pemandangan.

 

Menatap hijau sebagai sedikit obat.

 

Hati yang gersang, segersang kemarau di puncak Prambanan.

 

Wahai sang sejuk, sudikah kiranya engkau hadir?

 

 

Beberapa langkah di samping, Pakdhe Timin mulai kepanasan.

 

Ah ya, dengan kawan lain kini aku bertandang kemari.

 

Mungkin esok, yang entah kapan kan tiba.

 

Aku kemari lagi entah dengan orang lain.

 

 

Dan semoga bukan pada kemarau.

 

Di kala hati gersang.

 

Di pucuk bukit di Prambanan.

 

Kala penghujung September 2015.

NIMBRUNG DI SINI