“HAH!?”
Aku baru sadar di tengah tanjakan.
“Ini kan hari Minggu Mbah! Bukannya semestinya dirimu ke gereja ngibadah? Kok malah pit-pitan?” aku bertanya ke Mbah Gundul yang bersepeda di sebelahku dan sepertinya nggak rela didahului. #hehehe
“Nggak,” jawab si Mbah singkat.
Kagetlah aku, “Lho piye toh kowe iki!? Bukannya sekarang ini minggu Paskah ya? Kan dirimu mestinya ke gereja ngibadah?”
Sebagai seorang umat beragama yang bertoleransi dengan pemeluk agama lain, jelas aku mengingatkan si Mbah dengan ibadahnya. Lha ini kok si Mbah bukannya ke gereja tapi malah bersepeda? #hehehe
“Nggak. Sudah pernah dulu pas masih belajar,” jawab si Mbah santai.
“Haduuuh, Mbah! Piye toh dirimu ini!? Kalau begini gimana dirimu bisa dapat jodoh!? Itu tadi pas aku bersepeda lewat depan gereja Kotabaru banyak mbak-mbak dandan cantik ngibadah ke gereja,” kataku memanas-manasi Mbah Gundul. #hehehe
Percakapan ranggenah di atas terjadi di tengah tanjakan ke Bukit Teletubbies. Aku sudah lama mendengar nama tempat Bukit Teletubies, tapi baru sekali ini mau pergi ke sana. Itu pun setelah aku di-chat WA singkat sama si Mbah,
“Pie sesuk wani ora ngepit?”
“Aku sih wani wae, mung rung izin bojoku, hahaha.”
SILAKAN DIBACA
Berangkat dari Joglo Pit kira-kira pukul setengah 7 pagi. Mbah Gundul selalu di depan sebagai pemandu arah.
Selain kami, yang ikut bersepeda pada Minggu pagi (1/4/2018) yang lalu itu adalah Mas Bahri atau Daeng Bahri. Beliau ini kawan satu kontrakannya Daeng Akmal yang tempo hari ikut bersepeda ke situs Keraton Gaib Bathok Bolu.
Jikalau mencermati nama Bukit Teletubbies, pikirku ya lokasinya paling nggak jauh-jauh dari Rumah Domes Teletubbies yang secara administratif terletak di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Jadi, asalkan Mbah Gundul memilih rute ke arah Rumah Domes ya nggak usah terlalu dicurigai lah. #hehehe
Di tengah perjalanan, kami sempat istirahat agak lama di Bendungan Klampok. Bendungan ini membendung aliran Sungai Meruwe (Mruwe?) yang merupakan batas alami wilayah Desa Baturetno, Banguntapan, Bantul dengan Desa Sendangtirto, Berbah, Sleman.
Dari Bendungan Klampok, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri Jl. Raya Berbah menuju ke arah situs Geo Heritage Lava Bantal. Rupanya, Daeng Bahri belum pernah ke sana. Alhasil, kami pun mampir sebentar.
Dari situs Geo Heritage Lava Bantal, Mbah Gundul memilih rute bersepeda melewati bukit. Medan jalan di bukit ini berwujud jalan tanah yang nggak karu-karuan! #duh
Daripada lewat jalan tanah, sebetulnya ada jalan aspal yang juga mengitari bukit. Meskipun ya waktu tempuhnya sedikiiit lebih lama. #hehehe
Eh, mungkin Mbah Gundul memilihkan rute ora kalap ini agar Daeng Bahri tahu enaknya bersepeda di Jogja. #senyum.lebar
Di tengah perjalanan kami juga sempat melewati dasar bukit Candi Abang. Tapi, kali ini kami nggak mampir. Sekadar memberi tahu Daeng Bahri bahwa di sana itu adalah salah satu destinasi favorit pesepeda Jogja. #senyum.lebar
Seperti biasa, Mbah Gundul sempat mengajak berhenti membeli camilan perbekalan. Kali ini, TKP-nya adalah suatu warung kelontong di dekat Lapangan Sepak Bola Bercak, di Desa Jogotirto, Berbah, Sleman.
Berbeda dengan si Mbah, aku nggak ikut menimbun camilan karena aku sudah mampir ke warung sebelum tiba di Joglo Pit. Aku malah ingin meneguk minuman dingin semacam es teh. Sayang, pagi itu di sekitar sana belum ada angkringan yang buka. #senyum.lebar
Dari Lapangan Sepak Bola Bercak, perjalanan dilanjut menyeberangi Jl. Raya Prambanan – Piyungan. Setelah itu blusukan lewat jalan yang dikelilingi sawah-sawah hingga pada akhirnya tiba di Kawasan Rumah Domes Teletubbies alias Dusun Nglepen Baru.
Jam menunjukkan pukul setengah 9 pagi. Artinya, sudah satu setengah jam kami bersepeda dari Joglo Pit.
Eee… rupanya Daeng Bahri baru sekali ini pula menyambangi Kawasan Rumah Domes Teletubbies. Jadilah di sana Mbah Gundul dan Daeng Bahri berhenti agak lama untuk berfoto-foto.
Selagi mereka beraktivitas, aku merapat ke warung kecil di pinggir jalan. Walaupun di sana nggak ada es teh, tapi ternyata ada teh gelas dingin! Sikat deh dua gelas untuk mengusir hawa panas. #hehehe
Nah, dimulailah adegan bersepeda yang “sesungguhnya” #senyum.lebar. Papan kayu bertuliskan Bukit Teletubies seperti di bawah ini sudah sangat cukup untuk menunjukkan cabang jalan aspal mana yang harus dilintasi.
Baru beberapa menit menikmati jalan pedesaan dengan pemandangan sawah, datanglah sambutan dari tikungan yang tiba-tiba menanjak. Tanpa ba-bi-bu, kemiringan jalan menanjak ini sudah memaksa gir depan dan belakang sepeda untuk segera berpindah ke posisi 1.
Di tengah jalan yang menanjak ini kami berpapasan dengan rombongan pesepeda satu keluarga. Sepertinya, mereka juga ingin ke Bukit Teletubbies. Tapi, dengan medan tanjakan yang seperti ini, mungkin di tengah jalan mereka bakal balik mundur. Terlalu advanced jika dilalui dengan city bike. #hehehe
Seperti biasa, di tengah jalan menanjak ini hanya Mbah Gundul satu-satunya manusia yang kedua kakinya mampu mengayuh pedal sepeda. Aku dan Daeng Bahri sudah menuntun sepeda sejak merasakan bahwa tanjakannya... masih panjang. #hehehe
Di suatu tikungan, kami sempat berhenti ketika melihat papan kuning bertuliskan
GUMUKATAUCANDI
BUATTAPAKIAI
WONGSOPATI
PESANGGRAHANKIAI
WONGSOPATINGLEPEN
Kami pun memutuskan untuk menyelidiki maksud dari papan tersebut. Cerita lengkapnya bisa disimak pada artikel di bawah ini.
SILAKAN DIBACA
Kira-kira pukul 10 siang lebih beberapa belas menit, investigasi ke tempat yang “kontroversial” itu pun disudahi #hehehe. Selepas itu, tanjakan panjang nan ekstrem masih menanti. #duh
Walaupun sangat minim warung, untungnya di sepanjang tanjakan masih banyak rumah warga. Yang seperti ini lumayan menguatkan mental. Seenggaknya, jikalau ada “apa-apa”, semoga banyak orang yang berpeluang merespons. #hehehe
Untungnya lagi, jalan tanjakan ini mulus. Awalnya jalan aspal, kemudian berganti jalan cor semen. Idealnya sih dilalui kendaraan roda dua. Lebar jalannya masih sempit untuk kendaraan besar.
Secara umum tanjakannya masih lebih manusiawi dari Tanjakan Cinomati dan Tanjakan Petir. Hanya saja, tetap Mbah Gundul yang mampu melintasi jalan ini tanpa menuntun sepeda. #hehehe
Akhirnya, setelah setengah jam berjuang melintasi tanjakan yang tak berjeda itu, kami pun tiba di area parkir Bukit Teletubbies. Sebelum menjamah wilayah ini lebih lanjut, mampir dulu mengisi perut di warung pecel sederhana yang berada di sekitar sana.
Alhamdulillah akhirnya bisa minum es teh juga! #senyum.lebar
Setelah membereskan segala macam biaya makan dan tiket masuk memakai isi dompetnya Mbah Gundul #hehehe, kami pun menjamah objek wisata yang bernama Bukit Teletubbies itu.
Hooo… rupanya Bukit Teletubbies itu adalah taman asri yang letaknya di puncak tebing!
Runtuh sudah bayangan bahwa Bukit Teletubbies itu mirip seperti bukit-bukit yang ada di serial Teletubbies. #senyum.lebar
Sebagai suatu taman, Bukit Teletubbies sudah tertata apik:
- Rumputnya terpangkas rapi.
- Batu-batuan alam tersusun membentuk jalan setapak.
- Bangku-bangku batu dan gazebo-gazebo tersebar sebagai pelepas penat.
- Menara pandang menjulang tinggi untuk menikmati pemandangan.
- Tempat sampah pun banyak.
Menyenangkan sekali lah berada di tempat ini. Mana tempatnya bersih pula. #senyum
Sayang, lokasinya kok lumayan terpencil dari kota besar Yogyakarta #senyum.lebar. Berbeda dengan rumah Domes Teletubbies, tempat ini terletak di Desa Wukirharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Seandainya, taman Bukit Teletubbies ini berada di pusat Kota Jogja, mungkin sudah dikunjungi banyak muda-mudi saban sore. Waktu yang pas untuk menikmati taman ini ya pagi atau sore hari. Siang-siang jelas panas sebab di sini minim pohon peneduh.
Karena taman Bukit Teletubbies ini dikelola oleh warga Dusun Candisari, jadinya besar kemungkinan tempat ini akan selalu terawat dan terjaga dari hal-hal yang nggak diinginkan. #senyum
Eh, di tempat ini juga ada musala lho!
Selain taman Bukit Teletubbies, di kawasan ini juga terdapat objek wisata yang bernama Taman Batu. Karena sudah jauh-jauh bersepeda ke sini, jadilah kami menyusuri jalan setapak apik, masuk melewati gapura Taman Batu.
Rupanya, konsep Taman Batu hampir sama seperti taman Bukit Teletubbies. Di sini juga terdapat gazebo-gazebo sebagai tempat pelepas penat.
Hanya saja, suasana di Taman Batu lebih sepi. Mungkin karena lokasinya agak masuk-masuk hutan dan dikelilingi banyak pohon. Tapi, karena itulah di sini hawanya lebih sejuk dan teduh.
Eh, tapi apa ya nggak “seram” ya melepas penat di tempat seperti ini? #hehehe
Asal-muasal tempat ini dinamai Taman Batu, mungkin karena di lokasi terdapat batu-batu yang cukup besar. Awalnya aku menduga di sini banyak batu-batu berwujud unik. #hehehe
Di sana aku sempat ngobrol dengan seorang bapak yang sedang membabati semak. Kata beliau, tempat ini menempati lahan pribadi milik warga. Jadi, pengembangan selanjutnya ya tergantung empunya lahan.
Hari semakin beranjak siang. Kira-kira menjelang tengah hari, kami pun meninggalkan Bukit Teletubbies.
Untuk rute pulangnya, Mbah Gundul mengajak turun lewat Dusun Watukangsi. Nanti tembusnya di dekat dasar Tanjakan Petir.
Karena dari Bukit Teletubbies medan jalannya turunan, jadinya aku terlena ngebut dan meninggalkan Mbah Gundul dan Daeng Bahri di belakang sampai mereka nggak terlihat. Yang jelas, bukan takut karena melihat “penampakan” di atas pohon ini. #hehehe
Tiba lagi di rumah sekitar pukul 2 siang.
blusukan