Kabut senantiasa mengubah nuansa suatu tempat. Dari yang selama ini terkesan biasa-biasa saja, menjadi sesuatu yang tidak biasa, yang membangkitkan rasa takjub.
Pada Sabtu (6/1/2018) silam, kabut itu singgah di Dusun Plono Timur. Adalah suatu pemukiman yang terletak di lereng Perbukitan Menoreh, beratus-ratus meter di atas permukaan laut, dan tentu berkawan akrab dengan hutan, lembah, serta sungai.
Dari sekian kunjungan ke dusun di wilayah Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh itu, baru kali ini kabut tebal menyelubungi jalan beraspal yang menanjak terjal. Gerimis tipis turun di sela-selanya. Pelan dan perlahan, berubah menjadi hujan.
Alhamdulillah, pos siskamling kosong di selatan jalan berkenan ditumpangi, sekadar menjadi tempat berteduh. Bekal nasi bungkus mungil yang tadi dibeli di Pasar Kebonagung pun dikeluarkan. Perut diisi, sembari menanti hujan agak reda.
Dalam tiap kunyahan dan suapan, geliat kehidupan yang terbentang di jalan beraspal menjadi pemandangan. Bagi umumnya orang, pagi berkabut nan dingin dan basah mungkin menjadi alasan kuat untuk menghangatkan diri di dalam rumah. Tapi tidak bagi para warga setempat.
Payung-payung terkembang, digenggam guna menaungi kepala dari guyuran hujan. Di tangan lain, kantong plastik sesak berisi dipegang erat. Baik itu dari arah puncak tanjakan maupun bawah tanjakan, sekumpulan warga meniti langkah di jalan beraspal. Pasar Plono agaknya adalah tujuan.
Terbesit pula pertanyaan, kenapa warga tidak naik angkutan umum? Kenapa mereka memilih berjalan kaki di tengah himpitan kabut sehingga membuat pemandangannya menjadi sangat fotogenik?
Berdasarkan pengalaman, angkutan umum bukannya alpa. Tapi, seiring dengan pesatnya kepemilikan sepeda motor, jumlah armadanya menyusut. Daripada lama menunggu angkutan datang, ya mending jalan kaki saja. Apalagi letak Pasar Plono dekat dari rumah. Begitu mungkin yang ada di benak warga.
Mereka yang sedang dikejar waktu, boleh jadi tak akan menikmati berjalan kaki di tengah suasana berkabut. Kendaraan bermotor pun dipilih sebagai tunggangan. Beberapa ibu menitipkan anaknya yang berbalut seragam SD kepada para pengendara sepeda motor yang melintas. Mungkin sedulur atau kenalannya. Tolong-menolong lah intinya.
Eh, bukankah saat ini sudah nyaris pukul 7 pagi? Pukul berapa mulainya jam pelajaran pertama anak-anak SD itu? Semoga saja tidak telat.
Tak terasa dua bungkus nasi telah licin tandas. Itu artinya, waktu istirahat telah usai walaupun gerimis masih enggan hengkang. Tangan yang kotor pun dibasuh dengan air langit yang tertampung pada lembar-lembar hijau daun talas.
Perjalanan menembus Perbukitan Menoreh berlanjut, tanpa mampir ke Pasar Plono yang sepertinya eksotis dipotret tatkala berselimut kabut tebal. Yah… semoga suatu saat bisa kembali bersua dengan kabut di Dusun Plono Timur, Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Atau bikin berdua?