Maw Mblusuk?

HALO PEMBACA!

Selamat nyasar di blog Maw Mblusuk? !

Di blog ini Pembaca bisa menemukan lokasi-lokasi unik seputar aktivitas blusukan-ku ke sana-sini. Eh, kalau ada kritik, saran, atau pesan bilang-bilang aku yah! Nuwun!

Cari Artikel

LANGGANAN YUK!

Dengan berlangganan, Anda akan senantiasa mendapatkan update artikel terbaru blog ini.


Bisa berlangganan melalui e-mail.

oleh FeedBurner

Atau melalui RSS Feed berikut.
feeds.feedburner.com/mblusuk
Kamis, 12 Agustus 2010, 07:20 WIB

Kelangan Alon-Alon adalah nama pameran fotografi yang diusung oleh komunitas Sebelah Mata pada tanggal 24-30 Juli 2010 di Bentara Budaya Yogyakarta.

 

Kebetulan, salah satu anggota komunitas Sebelah Mata, mas Aziz, memberitahu diriku tentang agenda pameran foto ini. Kalau nggak, wah bisa-bisa aku melewatkannya.

 

Kelangan Alon-Alon berasal dari bahasa Jawa. Kelangan berarti kehilangan. Sedangkan alon-alon berarti perlahan-lahan. Sehingga kelangan alon-alon berarti kehilangan perlahan-lahan.

 

Jadi, apa yang hilang perlahan-lahan?

 

Yang hilang perlahan-lahan adalah sebuah peradaban budaya yang pernah hidup di Yogyakarta. Aku sebut “pernah”, karena peradaban budaya tersebut kini mulai sirna, tergerus oleh evolusi perubahan budaya yang kerap didengungkan atas desakan ekonomi, politik, teknologi, serta religi.

 

sosial budaya jogja kelangan alon-alon sebelah mata bentara budaya tembi
Gambar dipinjem dari Tembi.org

 

Salahkah?

 

Aku pikir, pada kasus seperti ini kita tak bisa membingkainya dalam kotak benar atau salah. Sebab budaya, adalah suatu produk karya manusia yang selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu. Manusia sendirilah yang menghendaki apakah suatu produk budaya tetap bertahan, berasimilasi, atau malah punah tak bersisa.

 

Yang saya aku terakhir patut kita cermati secara seksama. Ada segelintir orang yang hingga kini, masih berupaya memberi nafas pada budaya yang nyaris punah. Apa yang membuat mereka melakukan hal sedemikian rupa, tak lain untuk melestarikan sebuah produk budaya yang kaya akan makna.

 

Salah satunya adalah agar kelak di kemudian hari, tak kan ada lagi orang yang mengatakan, “dulu kala, pas saya kecil, pernah ada yang namanya ...”.

 

sosial budaya jogja kelangan alon-alon sebelah mata bentara budaya tembi
Gambar dipinjem dari Tembi.org

 

Beberapa produk budaya yang dicermati oleh komunitas Sebelah Mata adalah Pasar Bebek, Gerabah Ricikan, Srandul, Kembang Waru, Dolanan Tradisional, Jamu Cekok, Jathilan, Cukur Keliling, Lengger Topeng, Wayang Kulit, dan Tegel Kunci.

 

Yogyakarta, dengan segala atmosfir budayanya, juga tak akan lekang dari perubahan. Mungkin tak akan menyamai Jakarta, namun tetap akan ada sesuatu yang hilang perlahan-lahan.

 

Apakah Pembaca menyadarinya? Apa yang bisa Pembaca perbuat?
Sebelum semuanya kehilangan perlahan-lahan...


NIMBRUNG DI SINI

UPS! Anda harus mengaktifkan Javascript untuk bisa mengirim komentar!
  • MAS STEIN
    avatar komentator ke-0
    MAS STEIN #Rabu, 18 Ags 2010, 14:56 WIB
    memang selalu begitu tho mas, yang lama kalo ndak mampu bertahan ya bakal hilang digantikan yang baru, sedih nyesek kadang, tapi ya begitulah
    yah, berarti saya sekarang harus latihan bersabar menerima kehilangan ituh...
  • INDOMIELEZAT
    avatar komentator ke-1
    INDOMIELEZAT #Rabu, 18 Ags 2010, 12:47 WIB
    masih ada potong rambut gaya kek gituh...
    bisa ditelusuri di sekitar alun-alun utara deket sonobudoyo
    ;)
    tapi yang di alun-alun utara itu kan ndak keliling?
  • PEIN
    avatar komentator ke-2
    PEIN #Kamis, 12 Ags 2010, 11:50 WIB
    Hm,
    yg foto tukang potong rambut keliling itu mengingatkan akan dulu, dimana masih banyak dan sekarang udah hampirrr ga ada, soalnya udah menjamurnya tukang potong rambut......
    di Jogja sendiri juga makin langka...
  • FILSAFAT KONSELING
    avatar komentator ke-3
    FILSAFAT KONSELING #Kamis, 12 Ags 2010, 10:25 WIB
    Soal perubahan saya rasa itu sudah inheren dari dinamika relasi
    manusia itu sendiri yang membrojolkan budaya sebagai hasil dari
    interaksi sosialnya. Tetapi, meski bisa diterima bahwa argumen benar
    dan salah menjadi gagal memahami perkembangan budaya, tidak bisa
    dilupakan juga soal dampak sosialnya. Selain itu, jika pelaku
    budayanya sendiri sudah tidak begitu memahami apa yang dirayakannya,
    lamat-lamat budaya tertentu itu akan hilang.
    nah itu dia, mungkin peradaban budaya kita menanti untuk mati